Elegi Esok Pagi
Surat Pertama (2)
Rania akhirnya lolos UMPTN, tapi bukan di Universitas Indonesia! Ya Tuhan, kenapa bisa? Bukankah dia telah menyiapkan segala sesuatunya dengan sangat maksimal? Ataukah Allah memiliki rencana lain yang lebih baik untuknya? Dan juga untukku tentu saja?
Sejuta pertanyaan mengusik tidur malamku. Termasuk keputusannya mengambil pilihan keduanya yaitu jurusan teknik kimia di Universitas Sebelas Maret, Solo. Sebuah peristiwa yang melenceng dari skenario hidupku. Artinya, kami tidak akan berada dalam satu kota seperti angan-anganku. Banyak hal yang mungkin terjadi di depan sana.
Gadis itu akan memiliki banyak kawan pria. Dan satu di antaranya mungkin akan menawan hatinya. Bukankah cinta amat mungkin tumbuh karena terbiasa? Terlebih hubungan kami masih dalam kerangka persahabatan semata? Astaga, betapa rumit hidup ini. Kepalaku sejenak rusuh oleh semua ketakutan yang satu per satu bermunculan. Aku kalut oleh berbagai hal yang amat menyesakkan dadaku.
***
Akhirnya kudapatkan alamat tinggal Rania. Ia tinggal di rumah seorang kerabat ibunya di Solo. Tepatnya, kakak sepupu ibu Rania yang akrab disebut Pakde Sardi. Kabarnya, kerabatnya belum dikarunia seorang anakpun, meski usia mereka telah hampir memasuki setengah abad. Rania pernah bercerita tentang keluarga itu. Bahwa Pakde Sardi dan istrinya yang mempunyai sebuah usaha produksi batik amatlah dermawan. Tidak memiliki keturunan bukan berarti menjadikan hidup mereka hampa. Ada saja hal yang dilakukan keduanya. Dari mulai mengunjungi panti asuhan setiap akhir pekan untuk berbagi makanan dan aneka buku bacaan, hingga mengurus berbagai kegiatan sosial. Terlebih kepada keluarga karyawan, keduanya memberikan berbagai bentuk perhatian sehingga pabrik batik itu seakan sebuah keluarga besar yang hidup penuh rukun dan saling mendukung. Sebuah pemandangan yang cukup langka di dunia ini dimana seseorang yang memiliki kekayaan mampu berbagi dengan ‘semestinya’.
Kuputuskan menulis sebuah surat pendek. Surat pertama yang pernah kutulis untuk seorang gadis. Keberanian yang timbul karena dorongan terbesar berupa ‘kekhawatiran’ selepas kuterima kabar bahwa Rania tidak akan pernah menyusulku melanjutkan belajar di kota Jakarta ini.
Kutulis sebuah surat dengan goresan tanganku sendiri. Kubuat serapi mungkin agar ia terbaca dengan kesan terindah.
Teruntuk Rania
Semoga kau dalam keadaan terbaik ketika membaca tulisan tanganku yang pasti tidak serapi goresan tanganmu :D