[caption id="attachment_356819" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi (Kompas.com/Shutterstock)"][/caption]
Sore itu, seorang sahabat berkunjung ke tempat saya. Ngobrol kesana kemari, hingga ia pun menceritakan ketiga putra putrinya yang kini telah hampir ‘mentas’ semua. Anak pertama dan keduanya telah bekerja, tinggal si bungsu yang menempuh pendidikan akhir di sebuah perguruan tinggi. Jurusan tekhnologi informatika, yang kabarnya di era ini amat dibutuhkan keahliannya.
Di lingkungan kami, sahabat saya ini terkenal begitu gigih berniaga. Label untuk kebanyakan warga keturunan Tionghoa barangkali. Sekaligus sebuah suri tauladan amat baik dalam hal keuletan dalam memperjuangkan hidup menuju berbagai perbaikan pastinya. Ia bertutur bagaimana mendidik anak-anaknya sedari remaja. Yang adalah memberikan ruang dan mendorong mereka untuk mulai berlatih bekerja.
“Ketiga anakku sudah nyambi kerja dari SMA. Antara lain menjadi penjaga stand di PRJ. Itu mereka-mereka orang jarang banget minta uang jajan sama kami. Malah gajinya aja dikasih ke saya untuk ditabung...” Demikian si enci cerita dengan kebanggaan yang terbaca di raut wajahnya yang tampak selalu segar dan berenergi. Mungkin karena semangat hidupnya selalu membara sehingga ia terlihat awet muda, meski usianya pastilah telah kian menua.
“Emang gimana caranya mereka bisa dapetin job di sana? Ada kenalan atau di sekolahnya ada brosur-brosur lowongan yang disebar para pengelola event?” tanya saya ingin tahu. Eh ya, siapa tahu akan jadi informasi yang berguna nantinya.
“Ya mereka lah sendiri dateng ke PRJ. Jadi kalo yang event tahunan itu kan di bulan Juni. Kisaran April mereka udah datengin tuh kantor pemasarannya. Di sana ada banyak info lowongan. Biasanya mereka kirim lewat pos, terus diinterview. Nah dari situ nanti akan diseleksi, kalau anak-anak yang komunikasinya bagus, dan memenuhi kualifikasi mereka ya diterima. Apalagi kalau udah satu dua kali kerja di sana, lebih gampang diterima bekerja di berbagai pameran. Kan banyak pameran di bulan-bulan lainnya juga…”
“Oooh…gitu. Bagus, Ci. Sebenarnya mungkin uang sih bisa jadi keuntungan kesekian untuk orangtua. Tapi pengalaman, kemandirian, belajar bekerjasama, belajar bergaul dengan banyak orang, belajar mengalahkan rasa malas dan segudang pembelajaran lain itu yang tidak diterima di bangku sekolah. Mereka akan lebih menghargai uang dan kerja keras orangtuanya dibanding anak-anak yang tahunya jalan-jalan dan ‘hang-out’ aja ya Ci.” Ujar saya menimpali. Yang tentu diberi anggukan mantap oleh sahabat saya.
“Tapi ternyata ujian orang sih ada aja ya Bu. Si bungsuku kan waktu itu merasa sudah punya uang sendiri, pengen kali ya gaya-gayaan. Dia pake softlens mengikuti teman-temannya. Entah karena kena debu atau apa, suatu malam pulang dari PRJ matanya bengkak. Ia mengeluh katanya sakit sekali. Langsung buru-buru kubawa ke RS Mitra Keluarga Bekasi. Diberi tindakan langsung sama dokter. Entah disuntik apa, yang jelas itu nanah keluar dari kelopak matanya. Belum sampai nginap udah keluar Rp 6 juta! Ya memang mahal kali ya obatnya.
Temanku menyarankan bawa ke RS Aini aja karena di sana khusus menangani penyakit mata. Maka kularikan ia ke sana. Waktu itu RS lagi dalam renovasi, belum sebesar sekarang. Kamar-kamarnya masih sedikit. Segera ditangani dokter dan semua nanahnya kembali dibersihkan, matanya disuntik. Anakku bilang sih sakitnya bukan main.
Dokter bilang …”Bu, ini Ibu terlambat sedikit saja, mata anak Ibu ga akan tertolong. Bisa buta. Ibu lihat saja itu pasien yang ngantri segitu banyaknya. Rata-rata kena virus karena pemakaian softlens yang tidak terjaga kebersihannya. Bola mata orang Indonesia itu sudah paling indah, paling bagus di dunia. Tapi anak-anak muda terutama pengen ikut-ikutan punya bola mata warna-warni seperti orang luar. Nah ini akibatnya bisa fatal kalau tidak benar-benar menjaga kebersihan. Pun tidak semua mata mempunyai kekuatan yang sama. Ada juga yang sensitif. Makanya saya sarankan, jangan deh gaya-gayaan yang mengandung resiko tinggi seperti ini…”
Sejak hari itu kami sekeluarga sibuk mengurus si bungsu. Setidaknya selama 3 bulan saya mengejar dimana pun dokter itu praktek. Karena jadwal control lebih rapat dibanding jadwal dokter itu praktek di RS tersebut, terpaksa kami ikuti kemana saja beliau ada. Di RSCM, di mana-di mana, sore dan malam kami datengin sesuai janji temu. Harusnya sih memang di awal pengobatan dirawat, tapi karena kamar di RS tersebut penuh dan masih dibangun kamar-kamar tambahan, akhirnya kami berobat jalan. Untungnya ada, jadi lebih murah secara biaya pastinya. Dan dari cobaan itu juga saya dan keluarga kemudian jadi memperbaiki ibadah kami. Karena ternyata setelah manusia ditempa cobaan berat, akhirnya hanya tangan Tuhan yang kita harapkan bekerja…”
Tentu saja saya tertegun mendengarkan bagaimana sahabat saya bercerita. “Terus gimana matanya sekarang udah sembuh total kan?”
“Ya nggak sembuh total, separuh bola matanya yang kena virus tidak bisa sembuh. Masih bisa lihat, tapi berbayang. Secara fisik sih tidak terlalu kelihatan kalau tidak dari dekat banget. Cuma masih bersyukur itu juga, daripada buta sama sekali kan?” sambungnya lagi.
Secarik catatan ini semoga cukup berguna untuk kita semua. Bagi yang ingin melatih diri dengan belajar bekerja, menjadi penjaga pameran mungkin menjadi satu alternatif yang bisa dicoba.Tentu banyak cara lain yang bisa ditempuh.
Dan satu pelajaran lagi, kita tidak perlu menempuh jalan yang sama jika di sana terdapat ranjau-ranjau berbahaya, terutama bagi generasi muda yang kadang lebih mengedepankan hal yang dianggap ‘keren’ ketimbang akibatnya. Salah satunya adalah pemakaian softlens. Jika pun itu dilakukan untuk mengatasi/membantu memperjelas penglihatan, baiknya berkonsultasi dengan dokter mata agar semuanya aman dan kesehatan mata tetap terjaga. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H