Kalimat standar berbunyi “masa lalu adalah kenangan, masa kini adalah kenyataan, dan masa depan adalah harapan” ternyata amatlah luas untuk kita jabarkan. Dimana setiap masa membutuhkan persepsi terbaik, penerimaan terbaik, pun pemahaman terbaik bagi setiap diri manusia.
Berbincang ringan dan menyimak pengalaman dengan para senior yang beranjak senja, membuat saya tergiring untuk sedikit menganalisa tentang waktu dan apa yang ada di dalamnya. Kelebatan ingatan masa lalu diri sendiri dan orang lain mengambang ke permukaan. Pun membangkitkan angan akan hari depan yang meski mungkin tak akan seindah impian, setidaknya dapat dipersiapkan dengan mengumpulkan segenap pengalaman dari perjalanan hidup orang lain yang sempat kita saksikan dan juga dengar.
Pada seorang senior pengusaha EO iseng-iseng saya bertanya ; “Pak, saya jadi pengen tahu. Dulu sempat ga terlintas bahwa di hari depan bakalan terbiasa menghitung angka puluhan miliar? Ya meski duit orang, tapi kan harus diakui bahwa sebagiannya adalah rizki yang Dia titipkan. Jalan hidup dengan sejumlah kemudahan dalam memberi nafkah keluarga, dan menghidupkan tungku untuk puluhan periuk nasi teman-teman…”
Terkekeh beliau menjawab….”Ya nggak lah, Bu. Boro-boro kebayang. Jaman kecil saya cukup prihatin. Adik-adik saya banyak dan semua butuh biaya hidup serta pendidikan yang tidak sedikit. Jadi saat SMP saya sudah mulai membantu ibu saya berdagang apa saja. Jual es lilin yang didrop ke kantin-kantin SD, jual aneka gorengan, dan apa aja lah Bu…” Demikian sumringah suaranya terdengar penuh rasa syukur yang mengalir segar ke telinga. Saya tersenyum turut bahagia tentu saja. Tersenyum membenarkan sebuah kalimat yang mengatakan, semakin pahit masa lalu seseorang yang kini telah sukses melewatinya, maka semakin manis peristiwa itu untuk dikenangkan.
Ya, tak seorang pun kita mampu merubah masa lalu sesuai dengan yang kita mau. Kita tidak bisa memesan untuk lahir dan tumbuh di kalangan keluarga berada, memiliki segudang mainan dan fasilitas hidup lengkap dengan berbagai kemudahan. Kita hanya bisa mensyukuri apa yang pernah singgah dalam perjalanan hidup. Entah itu sebagai anak gembala, sebagai anak desa yang selalu berdamai dengan keterbatasan, atau berbagai peran yang bahkan lebih ‘seru’ dari yang mungkin bisa dibayangkan.
Namun dari sekian banyak kisah, mungkin bisa kita simak bahwa kemuliaan hati, kerja keras, bakti pada orang tua, ketaatan terbaik pada Illahi, sabar, ringan tangan membantu pihak lain, serta sederet sifat/sikap hidup pilihan yang tertanam baik di masa lalu, kelak di hari ini atau nanti akan mendapatkan gilirannya untuk memanen buah dari Sang Maha Pengatur. Karena benar, memang tak ada satu amal pun yang tak akan tergantikan oleh Dia yang tak pernah tertidur.
***
Di sepotong waktu yang lain, saya kembali berkesempatan berbincang dengan seorang ibu pensiunan yang kini memutuskan masih bekerja meski paruh waktu.
Beliau bertutur ; “Sebenarnya suami saya keberatan saya kerja lagi. Katanya, ngapain sih Mah…pake kerja lagi. Aku pensiun, malah kamu pergi kerja. Udah aja di rumah, Alhamdulillah kita nggak kekurangan apa-apa lagi kan?. Makannya saya tahun ini mau berhenti kerja. Kalau tiba-tiba berhenti kan juga ngga enak, soalnya itu kantor teman…”
Saya tertawa menanggapinya ; “Lah iya lagian sih, Ibu kurang kerjaan amat. Wong udah bagus menikmati masa pensiun dengan bersantai, ini malah masih semangat berkejaran sama kereta. Kasihan si Bapak sendirian, anak-anak sudah nggak ada di rumah kan?”
Beliau menjawab : “Nah, justru saya kerja sebenarnya mencari kegembiraan juga. Senang kan ketemu teman-teman di kantor, ngobrol-ngobrol, ketawa-tawa….Lagian juga saya kerja cuma seminggu dua kali. Di kantor konsultan milik teman SMA.”.
“Tapi kan Bapak pasti di rumah juga sepi nggak ada siapa-siapa seharian. Kadang mereka itu ( suami ) sudah ayem kalo kita ada di rumah. Ya buatin teh manis, bikin cemilan, ngobrol, berkebun, atau nggak ngapa-ngapain juga asal ada di rumah rasanya tenang.” Demikian saya mengomentari dengan sedikit ‘sok tahu’.
“Eh iya bener ituuu….. biarpun dia tidur, kalau saya di rumah katanya rasanya tenang. Ampun deh ya..” sahut beliau cepat.
Semestinya memanglah demikian. Keberadaan pasangan adalah untuk saling menciptakan rasa tenang dan nyaman. Pikiran saya mengajak menengok ke masa depan yang kini mungkin baru sebatas harapan. Bahwa memang masa senja pun butuh persiapan. Segudang aktifitas yang bisa dilakukan di masa itu mungkin sudah bisa kita rencanakan. Salah satunya adalah ‘membaca dan menulis’, jika ‘travelling’ atau jalan-jalan menjejak berbagai tempat tidak memungkinkan kita lakukan. Tentu memperbanyak kegiatan sosial/ibadah juga pilihan baik yang bisa dikerjakan.
Dengan demikian, sel otak kita akan terus teregenerasi, dan selalu ada bahan diskusi terkini yang menjadi bahan perbincangan menyambut hangat mentari pagi. Serta menjadi teman meneguk cangkir-cangkir teh mengantarkan surya yang tenggelam perlahan.
Setiap kita bisa sekadar mengenang masa lalu dengan sebuah senyuman. Menikmati hari ini dengan sebongkah kesyukuran. Dan merajut angan hari depan dengan harapan-harapan terbaik, persiapan terbaik hingga semoga menemukan akhir hidup terbaik pada masanya nanti. Meski setiap kita tidak pernah tahu, apakah Dia masih memperkenankan kita menapaki senja yang kini masih menjadi misteri. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H