Mohon tunggu...
Dita Widodo
Dita Widodo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha. Praktisi urban garden dari 2016-sekarang. Kompasiana sebagai media belajar dan berbagi.

1996 - 2004 Kalbe Nutritional Foods di Finance Division 2004 - 2006 Berwirausaha di Bidang Trading Stationery ( Prasasti Stationery) 2006-sekarang menjalankan usaha di bidang Travel Services, Event Organizer dan Training Consultant (Prasasti Selaras). 2011 Mulai Belajar Menulis sebagai Media Belajar & Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Diary vs Dinding Maya - Serupa tapi Tak Sama

23 Oktober 2014   15:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:01 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin untuk kita yang telah melewati masa remaja hanya akan tersenyum geli membaca status-status galau maupun romantis di media sosial/online. Atau barangkali juga ikut sebal / prihatin melihat perilaku yang dilihat dari berbagai kacamata pandang terasa lebay /berlebihan. Ya, pergantian jaman memang telah menggeser banyak hal di berbagai sendi kehidupan. Termasuk kebiasaan umum para muda-mudi dalam mengekspresikan emosinya. Jika di masa lalu ketika tekhnologi informasi belum sepesat saat ini, sebuah buku diary menjadi satu-satunya media atau dinding yang menampung segala keluh kesah maupun curahan kebahagiaan.

Jika kita cermati, sebuah kemajuan jaman memang kadang menimbulkan dampak positif dan negative sebagaimana dua sisi mata uang. Dan tulisan yang saya buat ini pun sekadar pandangan pribadi dimana memang keberadaan sebuah benda seringkali tergantung dari sudut mana sepasang mata dan sepotong hati merasa/ menangkapnya.

Terkait curahan ekspresi melalui dinding-dinding maya vs selembar kertas ( entah diary/buku catatan sederhana), sebagai generasi lalu saya ingin sedikit mengulasnya.

Setiap pribadi memang hanya akan bertanggungjawab pada apa yang dilakukannya. Tapi perlu diingat bahwa setiap manusia selain berperan sebagai makhluk pribadi, ia pun adalah makhluk sosial, dimana keberadaannya tidak bisa lepas dari ketergantungan dengan manusia lainnya, termasuk etika-etika yang disepakati sebagai sebuah adab ataupun budaya.

Semisal jika kita membaca status sumpah serapah di media sosial, apa yang Anda pikirkan?  Jika si penulis menganggap bahwa dinding mayanya adalah hak pribadi yang bisa dicoreti semau sendiri, menurut saya keliru. Karena ketahuilah dampak bagi si penulis itu akan sangat besar tanpa disadarinya. Sebagaimana pepatah mengatakan ; teko hanya mengeluarkan apa isi di dalamnya.

Berikutnya, apa yang dibagikan di media sosial sebagian besar mewakili kerangka kepribadian orang yang bersangkutan. Semisal saya mencari seorang karyawan/team misalnya, salah satu cara untuk mendapatkan gambaran kepribadian seseorang selain melalui psikotes sederhana, adalah dengan menelurusi informasi melalui media sosial. Nah, di sanalah cermin kepribadian itu akan terbaca. Orang yang kegemarannya mempublikasikan sumpah serapah misalnya, bisa kita tebak seberapa tingkat pengendalian emosinya.

Seringkali seorang pengguna media sosial terlupa, bahwa apa yang dituliskan di dinding maya mampu menembus jagad raya yang demikian luasnya. Bahwa ketikan jari itu ternyata bisa berdampak baik atau buruk melintasi jarak yang tak terbayang sebelumnya.  Bak menaburkan benih, angin akan membawanya ke ladang-ladang yang luas tak terbatas. Biji kebaikan akan tumbuh dan kita panen pada akhirnya. Pun sampah yang kita tebar akan sama buruknya berdampak pada diri sendiri di kemudiannya.

Berbeda dengan diary, sebuah buku kecil dan sederhana yang kita bisa coreti sesuka hati. Ia tidak hanya efektif menjadi teman dalam berbagai suasana. Tapi juga bisa menjadi sahabat baik yang kelak akan mengingatkan setiap pribadi untuk menjadi lebih baik dari hari sebelumnya. Karena setelah beberapa waktu kemudian kita baca ulang, kita akan menyadari betapa saat itu kita ‘chicken’ ( seperti anak ayam ) misalnya. Betapa apa yang kita pikirkan sebelumnya ternyata keliru. Di seringkali memang waktu akan membuka sebuah kebenaran sehingga mampu terbaca oleh indera. Apa yang kita anggap hari ini benar, bisa jadi akan kita koreksi di kemudian hari. Kebenaran memang tidak bersifat relatif, namun ilmu dan jangkauan mata kita yang terbatas ini seringkali keliru membaca/menerjemahkan. Terlebih jika emosi turut berperan besar di sana.

Jadi himbauan saya sebagai generasi lama ( kata halus sebagai pengganti ‘tua’ atau menjelang ‘tua’) adalah, pikirkan 3-4x sebelum menggerakkan jari menulis di media sosial. Jika butuh ruang pribadi yang lebih bebas ‘sanksi sosial’ ataupun lebih berdampak membangun, alangkah baiknya menuliskannya di sebuah diary manis. Tidak apa dibilang jadul, tapi itu lebih efektif dan bermanfaat sebagai sahabatmu mencapai taraf kedewasaan dan mencerna berbagai kebijaksanaan… :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun