Mohon tunggu...
Surat Botol Kaca
Surat Botol Kaca Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pecah botol kaca ini, kemudian baca aku.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

GwPenNgomongAseli: Budaya Sopan Santun, Emang Eak?

11 Maret 2024   18:41 Diperbarui: 12 Maret 2024   23:02 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki budaya sopan santun, seperti merunduk saat melalui yang lebih tua, salim dengan mencium tangan yang lebin tua, dan banyak lagi. Sayangnya sopan santun ini sudah tidak semendalam maknanya. 

Suatu waktu aku jalan kaki dan melihat baliho suatu caleg, terdapat kutipan yang awikwok alias kocak menurut aku di dalam baliho tersebut, tulisannya "Berpolitik dengan santun", big mark question and a chuckle. Tanpa caleg tersebut katakan "Berpolitik dengan santun" sedari dulu kita sudah tau bahwa manusia pada umumnya haruslah santun, APALAGI CALEG, masa iya ada caleg ketemu rakyat buat minta suara dan kalimat pembuka pidatonya "Apa kabar masyarakat yang bang*at? Hari ini adalah hari yang anjing sekali buat kita semua." kan tidak mungkin, "lu sokab bro" kata anak Jaksel.

Demi menghindari sentimen caleg, mari kita sudahi bagian sini. Omong-omong, aku punya cerita yang ingin aku gunakan untuk kritik budaya sopan santun. Begini ceritanya, jarak antara kos dengan kampusku sejauh 1,5 km dan aku menempuhnya dengan berjalan kaki. Setiap kali aku berangkat pada pagi hari, seringkali aku melihat satu ibu yang mengemis di depan fakultas lain. Perawakan ibu ini seperti berumur hampir 50 tahun, menggunakan pakaian yang sudah kotor, ia selalu mengemis di bawah pohon, dan selalu tunduk namun tangan kanannya pada posisi meminta. 

Setiap kali aku melewati ibu ini, terlintas di pikiranku apakah aku lebih etis untuk tunduk atau tidak, dilema ini menyebabkan perdebatan dalam diriku. Sehingga aku berada di kesimpulan bahwa sebaiknya aku lewat belakangnya saja ketika melewati ibu tersebut (tentunya ini tindakan kocak), pingin sih sekali sekali lewat belakangnya terus bilang "Halo, hayooo tebak siapa?" but my intrusive thoughts isn't that strong. 

Di sini muncul dialektika antara diriku dengan diriku untuk mencari jawaban, sebenarnya sopan santun itu butuh adjustment kah atau tidak, perlu konteks yang rumit kah atau tidak, khawatir nilai dari sopan santun tersebut justru hilang. Semua ini terlintas di pikiran karena aku berpikir bahwa dengan tunduk aku menyadari keberadaannya, di satu sisi ibu tersebut lebih membutuhkan uang atau makanan, merunduk justru terlihat seperti penghormatan palsu, ya.. lebih mirip pengabaian sih maka dari itu menurutku jika output-nya adalah pengabaian ada baiknya tidak tunduk sama sekali karena dengan merunduk rasanya semacam memberi harapan bahwa kita menghormati ibu ini tapi kemungkinan cara dia berpikir tentang 'hormat' adalah dengan kita memberinya sesuatu, di titik ini muncul konteks yaitu sudut pandang yang berbeda antara kita dengan si ibu, barometer hormat kita dan si ibu ternyata kemungkinan besar berseberangan. Bagiamana jika ia berkata "Dik, saya tidak masalah jika kamu tidak tunduk, di sini saya butuhnya duit segepok atau setidaknya seblak level 8.", jika seperti ini berarti merunduk bukanlah tindakan yang tepat untuk menghormati.

Bagaimanapun, aku ingin budaya sopan santun ini terus berjalan namun masih dengan makna yang mendalam, alias tidak memiliki double meaning apalagi meaningless.

Bagaimana menurut Anda? Apakah sopan santun butuh penyesuaian?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun