Mohon tunggu...
Surat Botol Kaca
Surat Botol Kaca Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pecah botol kaca ini, kemudian baca aku.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Karma, Kausalitas atau Subjektivitas Penyatuan Dua Kejadian yang Tidak Relevan

10 Maret 2024   00:34 Diperbarui: 10 Maret 2024   00:36 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

a. Asal Muasal Karma 

Kata 'karma' sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti perbuatan. Karma sendiri akan kita temui dalam ajaran agama Hindu Buddha.

b. Kausalitas atau Subjektivitas Dalam Bentuk Penyatuan

            Bayangan tentang karma seringkali identik dengan hal yang kurang sederhana, di samping terdapat analogi yang lebih ringan. Contoh, jika kita tidak minum sama sekali dalam sehari, maka tubuh mengalami dehidrasi. Contoh lainnya, jika guru memberikan tugas dan kita tidak mengumpulkan, maka terjadi penurunan nilai. Bukanlah hal yang aneh tentunya mengapa karma identik dengan analogi yang tidak ringan atas latar belakang bahwa karma berasal dari ajaran Hindu Buddha, yaitu sebuah kepercayaan. Hal ini membuat kita perlu menyentuh bahasa langit tanpa mempertimbangkan konsep yang lebih membumi. Ditambah, manusia merupakan makhluk bersastra.

Dalam penjelasan yang lebih logis, ada dua bagian 'karma' yang bisa kita diskusikan, yaitu kausalitas dan subjektivitas penyatuan dua kejadian yang tidak relevan. Sebagaimana kita mengenal secara umum tentang karma, kausalitas adalah label yang dapat menggantikan karma dikarenakan kausalitas sendiri berarti sebab-akibat, atau menuai apa yang ditabur. Namun, berbeda dengan yang kedua, yaitu subjektivitas untuk menyatukan dua kejadian yang tidak relevan, maksudnya adalah terjadi bias penyatuan dua kejadian yang waktunya terpisah sehingga tidak terdapat kausalitas di dalamnya. Untuk menggambarkan keduanya, berikut penjelasan yang dapat memberikan pengertian lebih melalui contoh. 

1) Contoh Kausalitas

Contoh kausalitas pertama: Saya berpacaran dengan A, suatu hari saya selingkuh dengan B. Perselingkuhan antara saya dan B tidak diketahui oleh A, namun suatu hari A selingkuh juga dan hal ini bukan dikarenakan A mengetahui saya berselingkuh melainkan pikiran saya untuk berselingkuh terwujud melalui ucapan, gestur, dan lain-lain. Saya menjadi terlihat kurang perhatian, kurang aktif dalam komunikasi, dan seterusnya yang mana hal ini membuat A merasa lelah dengan saya sehingga memutuskan dirinya untuk mencari orang yang bisa membuatnya nyaman. 

Contoh kausalitas kedua: Saya berpacaran dengan A, suatu hari saya selingkuh dengan B. Perselingkuhan antara saya dan B diketahui oleh A, dan dikarenakan A tau bahwa saya sudah berselingkuh maka sedikit demi sedikit muncul semacam toleransi negatif untuk menormalisasikan perselingkuhan dalam hubungannya yang membuat A pada akhirnya selingkuh dengan D.

Contoh di atas menunjukkan karma sebagai kausalitas. Pada contoh pertama saya menabur pikiran untuk berselingkuh, dengan pikiran ini saya menjadi pasangan yang kurang baik dan membuat A merasa kurang nyaman dengan saya sehingga apa yang saya tuai adalah A mencari atau menerima orang lain.

Contoh kausalitas kedua menunjukkan bahwa A sudah mengetahui saya selingkuh, hubungan yang dibangun antara saya dengan A sudah tercemar dan mengalami kurangnya rasa percaya, dengan begini A mulai menormalisasikan hal-hal kecil menuju perselingkuhan yang pada akhirnya A berselingkuh dengan D.

2) Contoh Subjektivitas Penyatuan

Saya berpacaran dengan A, suatu waktu saya berselingkuh dengan B, dengan kejadian ini akhirnya saya dan A mengakhiri hubungan. 5 tahun setelahnya, ketika saya sudah berubah total dan menjadi lebih baik, saya menemukan pasangan baru yaitu C. Suatu waktu C berselingkuh dengan D, adanya perselingkuhan ini membawa saya dan C pada tahap mengakhiri hubungan. Hubungan saya dengan C adalah saat-saat di mana saya menjadi pasangan yang serius dan berkomitmen, berbeda ketika saya dengan A. 

Dalam analogi ini terdapat waktu yang berbeda antara ketika saya dengan A dan saya dengan C. Letak subjektivitas yang terlihat seolah menjadi karma yang objektif pada analogi ini adalah menyatukan dua kejadian yang waktunya tidak selaras maka kausalitas tidak terjadi di dalamnya. Muncul satu pertanyaan, bagaimana jika 5 tahun sebelumnya saya tidak berselingkuh dan menjalani hubungan sebagaimana saya dengan C? Masihkah dapat dipandang sebagai karma? Sebab secara subjektivitas penyatuan, saya tidak bisa menyatukan 2 hal yang berbeda untuk ditempatkan di satu ruang yang sama dan mengatakan "aku menuai apa yang kutabur". 

Pikiran hanyalah pikiran, namun pergerakan perahu tentu saja utamanya terikat dengan nahkoda, manusia tidak bisa dipisah dengan pikiran sehingga niat yang bahkan tidak secara keseluruhan dilakukan bisa termanifestasi dalam wujud yang setidak-tidaknya mikro.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun