Sebagai seorang pemimpin sepatutnya apapun yang dia ucapkan adalah kebenaran dan fakta, apalagi pernyataanya itu disampaikan pada media. Pernyataan yang tidak didasari fakta jelas akan memancing polemik dan kegaduhan di tengah masyarakat, dan pemimpin seharusnya menghindari itu. Pemimpin juga seharusnya paham betul atas apa segala jenis yang pekerjaan yang dia lakukan, bekerja berlandaskan pengetahuan.
Sebuah kejadian fatal pernah dilakukan oleh presiden Jokowi, dia mengaku tidak mengetahui apa yang ditandatanganinya. Padahal tanda tangan Presiden itu adalah hal yang memiliki urgensi sangat tinggi. Sikap Presiden Joko Widodo justru menyalahkan Menteri Keuangan terkait terbitnya peraturan presiden tentang kenaikan tunjangan uang muka kendaraan bagi pejabat negara. Ketika dikonfirmasi presiden justru mengelak. Presiden seharusnya bertanggung jawab penuh dengan perpres yang ditandanganinya. Presiden tak seharusnya melempar tanggung jawab kepada menteri atas keputusan yang menjadi wewenangnya. Untuk tidak menduplikasi kesalahan, seharusnya Presiden menelaah lebih jauh perjalanan setiap keputusan yang diambil.
Fatal jika Presiden Joko Widodo mengaku tidak mencermati satu per satu usulan peraturan yang harus ditandatanganinya, termasuk soal lolosnya anggaran kenaikan uang muka pembelian mobil untuk pejabat negara. Bukannya mengklarifikasi, presiden justru malah berkilah tidak semua hal itu saya ketahui 100 persen. Artinya, hal-hal seperti itu harusnya di kementerian. Kementerian men-screening apakah itu akan berakibat baik atau tidak baik untuk negara ini. Kesalahan itu sempat menjadi perundungan dikalangan masyarakat, bagaimana seorang presiden bisa melakukan kesalahan semacam itu, yang secara jelas berpotensi merugikan negara.
Tidak berhenti di situ saja, soal penegakan hukum pun baru-baru ini Jokowi hampir saja melakukan kesalahan dalam memberi pembebasan bersyarat Ust. Abu Bakar Ba'asyir. Presiden dinilai terlalu grasa-grusu dalam bertindak, tanpa memikirkan kosekunsi hukum apa yang ditimbulkan. Ust. Abu Bakar Ba'asyir dinilai adalah sosok kaum radikal hard liner, dirinya bahkan tidak mau berkompromi untuk menandatangani janji setia terhadap NKRI, juga menolak ideologi negara yaitu Pancasila. Jika Jokowi memberi pembebasan hal tersebut jelas adalah langkah mundur terhadap penegakan hukum dan pancasila. Presiden pun sepatutnya tidak bekerja hanya didasarkan perasaan, tanpa pikiran yang matang melatarbelakangi pengambilan keputusan. Seharusnya Jokowi juga mampu menimbang dampak dari kebijakan yang dia ambil.
Baru-baru ini Jokowi juga baru saja membuah kehebohan di publik terkait pernyataannya mengenai propaganda Rusia yang dimainkan oleh pihak oposisi. Pernyataan yang pada akhirnya diberikan klarifikasi penjelasnnya oleh TKN apa maksudd dari ucapan tersebut. Nampaknya saat berbicara soal propaganda Rusia, Jokowi tidak benar-benar paham apa itu yang dimaksud oleh propaganda sebagaimana yang dia ucapkan. Jokowi memberi pernyataan hanya didasarkan selentingan dan sentimen politik, tanpa tahu bagaimana kebenaran fakta yang terjadi. Jelas pernyataan sikap seperti itu dapat mebahayakan keamana republik kedepannya. Bagaimana jika Jokowi mendapat masukan dari berbagai sumber yang dipercayainya, Jokowi bisa saja langsung bereaksi tanpa terlebih dahulu mengecek kebenaran dari informasi tersebut. Jelas sikap seperti itu sangat membahayakan, apalagi di tengah cepatnya peredaran informasi di publik. Pernyataan blunder presiden yag tidak sesuai kebenaraan fakta bisa menjadi bumerang yang menimbulkan malapetaka.
Lain Jokowi, lain juga pasangan calon wakil presidennya yaitu Ma'ruf Amin. Beliau juga tercatat banyak mengalkukan kesalahan terkait pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Sebut saja soal peluncuran mobil Esemka misalnya. Maruf Amin sesumbar bahwa mobil Esemka akan diluncurkan ke pasar otomotif dalam negeri pada Oktober yang lalu. Tapi kenyataannya bertolak belakang, bahkan sampai saat ini kita belum bisa melihat produk mobil Esemka itu mengaspal dijalan-jalan yang sudah dibangun oleh pemerintah. Akibat sesumbar soal mobil Esemka Maruf Amin pun dianggap telah menyebarkan hoaks yang tidak terbukti kejadiannya. Kendati telah salah dalam mengutarakan pernyataan Maruf Amin tetap tenang dan melimpahkan kesalahan terkait produksi mobil Esemka terletak pada pihak swasta yang tidak sungguh-sungguh memprioritaskan peluncuran mobil hasi buatan anak negeri itu.
Kejadian lain yang sempat menghebohkan publik adalah soal penangkapan Rizieq Shihab oleh otoritas Arab Saudi. Maruf Amin menyatakan kasus penangkapan itu telah seselai setelah dimediasi oleh Kemenlu. Maruf Amin menyatakan bahwa Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab bebas karena dijamin oleh Konsulat Jenderal (Konjen) di sana. Kementerian Luar Negeri pun merespon pernyataan itu, membantah telah memberikan jaminan untuk membebaskan Pimpinan FPI, Muhammad Rizieq Shihab dari pemeriksaan pihak berwenang Arab Saudi. Kemenlu menyatakan tidak ada prosedur pemberian jaminan pembebasan, mereka hanya akan mendampingi proses advokasi, bukan memastikan bebas.
Pada saat itu mungkin Maruf Amin sedang khilaf. Pikirannya tidak lagi cukup awas dalam memfilterasi informasi yang dia terima, apa ini fakta atau opini, bahkan hoaks. Informasi yang dia terima dia teruskan begitu saja ke publik tanpa terlebih dahulu diverifikasi kebenarannya. Sebuah sikap yang sangat beresiko, menyampaikan informasi ke publik mengenai hal-hal yang masih bias kebenarannya. Tapi sekali lagi kita seharusnya maklum, Pak Maruf Amin umurnya sudah cukup tua, pikirannya tidak lagi seharusnya diberi beban berat, apalagi diharuskan memilah-milah informasi yang benar dan salah atau belum terbukti faktanya. Tapi seorang pemimpin seharusnya tidak dapat mengelak dari tugas tersebut. Pemimpin harus mampu menjadi penyambung lidah rakyat yang menyampaikan informasi secara jernih. Â Bukan justru malah memperkeruh arus informasi dengan pernyataan yang belum jelas kebenarannya.
Presiden dan calon wakil presiden sebagai pemimpin bangsa jelas mengemban amanat dan tugas yang berat. Termasuk harus mampu menjernihkan informasi dan miskordinasi antar lembaga negara yang dipimpinnya. Untuk itu kemampuan memilah informasi fakta dan hoaks. Tapi jika ternyata untuk urusan memberikan klarifikasi yang benar-benar fakta dan terbebas dari informasi hoaks saja sudah tidak mampu, bagimana mau memperbaiki kusutnya arus informasi yang beredar dipublik. Malah-malah nanti yang ada justru menambahkan kekisruhan dengan klarifikasinya yang tidak jelas dan punya tendensi menimbulkan polemik. Jangan sampai pemimpin seperti itu memimpin negara yang besar ini.
Sumber :
tribunnews.com
kompas.com
idntimes.com
detik.com
rmol.co
okezone.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H