Mohon tunggu...
Milisi Nasional
Milisi Nasional Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Akun twitter @milisinasional adalah reinkarnasi baru dari akun twitter @distriknasional yang jadi korban totalitarianisme firaun anti kritik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahmad Dhani Menghampiri Takdir

29 Januari 2019   20:16 Diperbarui: 30 Januari 2019   11:54 1447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

"Ku berdiri

Di sudut demokrasi

Kurasakan

Gemuruh panjang

Nada - nada sumbang

Terbersit tanda Tanya

Itu sebuah proses panjang

Terucap jawaban

Merasuk nurani menyentak logika

Liberty... oh... oh...

Mimpi kami Memburu sketsa masa depan

Liberty... oh... oh...

Nanti kita butuh satu prasasti Asasi...

Ku pandangi

Nafas sesak seorang kawan

Teriakkan hak asasi itu

Yang slalu terlupa"

Saya tidak pernah lupa lagu tersebut. Selalu menjadi penyemangat sebelum berangkat kerja. Alasannya yang pasti adalah reff nya sangat cadas dan liriknya sangat inspiratif. Sangat Suroboyoan. Tapi liriknya itu loh. Bagaimana bisa pada tahun 1994, Dhani sudah menulis lagu kritikan terhadap pemerintahan Orde Baru yang sudah waktunya berdemokrasi.

Memang tidak secara gamblang Dhani menulisnya. Namun apabila ditelaah lebih lanjut, Dhani memimpikan proses demokrasi yang dilihatnya di Amerika agar setidaknya dapat terwujud di tanah airnya suatu saat nanti. Hasilnya, 4 tahun setelah Liberty direlease, Rezim Soeharto tumbang karena reformasi. Mimpi Dhani menjadi kenyataan.

21 tahun setelah reformasi, Ahmad Dhani masuk bui. Berbeda dengan artis yang masuk bui gegara kasus pornografi, narkoba dan prostitusi, Dhani masuk bui perihal politik. Lebih khusus lagi, Dhani masuk penjara karena dilarang menyalurkan "asasi" nya melalui media online. Terdapat 3 cuitan Ahmad Dhani yang menjadi persoalan, Yaitu:

1. "Yg menistakan Agama si Ahok... yg di adili KH Ma'ruf Amin...ADP", pada tanggal 7 Februari 2017;

2. "Siapa saja yg dukung Penista Agama adalah Bajingan yg perlu di ludahi mukanya - ADP", pada tanggal 6 Maret 2017;

3. "Sila Pertama KETUHANAN YME, PENISTA Agama jadi Gubernur...kalian WARAS??? - ADP" pada tanggal 7 Maret 2017.

3 cuitan tersebut menggiring Dhani untuk tinggal di LP Cipinang dalam 1,5 tahun kedepan. Sesuatu yang tidak pernah ia rasakan bahkan pada rezim Orde Baru sekalipun. Sedangkan apa yang dicuitkan oleh Dhani, bukanlah kritikan terhadap pemerintah, justru pada situasi sosial yang ada pada saat itu.

Tidak ada pihak yang dirugikan dari cuitan tersebut, namun ada pihak yang sebenarnya berseberangan pandangan politik dengan Dhani melaporkan. Singkat cerita, Dhani divonis bersalah karena ujaran kebencian, entah golongan mana yang tersinggung.

Dhani menggenapi takdirnya

Musisi atau artis yang dipenjara di Indonesia banyak terlibat kasus narkoba, prostitusi, penggelapan pajak atau pornografi. Di Indonesia terbilang sangat langka ada artis yang masuk penjara karena masalah politik. Sebut saja Koes Plus dengan musik "ngak ngek ngok"-nya. Tapi setelah itu hampir tidak ada. Seniman di Indonesia menikmati privilege nya sebagai kritikus sosial sepanjang negara ini merdeka. 

Sontak saja publik terkejut dengan vonis Ahmad Dhani melalui cuitan tersebut. Bagaimana tidak, preseden Dhani telah membuktikan bahwa rezim Jokowi anti terhadap kritikan sosial. Pemerintahan Jokowi alergi pada demokrasi. Meski dengan dalil ujaran kebencian, namun pasal itu sendiri tidak begitu kuat pada kasus cuitan Dhani. 

Justru aroma balas dendam lebih kental dirasakan. Hanya karena Ahok masuk penjara, maka lawan politik Ahok harus masuk juga. Lihat saja kasus Buni Yani yang tidak jelas juntrungannya. Kita hanya bisa curiga, bahwa kasus-kasus tersebut adalah kasus "pesanan", ini tentu tidak baik bagi demokrasi yang dimimpikan Dhani melalui lagu Liberty.

Dhani memang beda, tidak seperti Ahok yang menjalani hukumannya dengan keamanan ketat dan tidak mau berbaur. Dhani lebih suka berbaur dengan narapidana lain. Tersebar foto Dhani di LP Cipinang dengan senyum sumringah seakan menyiratkan pesan, "saya telah menggenapi takdir saya". Memang seperti Thanos yang berulang kali mengungkapkan dalam Infinity Wars, "Dread it, run from it, destiny still arrives", kita tidak bisa melarikan diri dari takdir yang sudah tersusun dari DNA kita.

Dhani pun seperti itu. Terdapat DNA pejuang dalam diri Dhani. Dhani adalah anak Diplomat dan Anggota DPR, Eddy Abdul Manaf. Ditarik lebih jauh lagi, Dhani adalah cucu Rusta Sastraatmadja pejuang kemerdekaan divisi Siliwangi. Apabila melihat karya-karya Dhani seperti Liberty, Dhani sudah jelas adalah pejuang demokrasi. Di situlah letak perbedaannya.

Dhani tidak pernah takut untuk menyuarakan ide-ide dan gagasannya, meski hal tersebut mungkin terdengar tabu. Satu setengah tahun bukan waktu yang lama bagi Dhani. Satu setengah tahun itu hanya sekali 2 kali lebaran dan 2 kali imlek. Dalam sekejap Dhani juga akan bebas. Ketika bebas nanti, Dhani akan berkembang membawa gagasan-gagasan kebebasan yang lebih besar lagi nanti. Itu adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri oleh haters manapun, bahwa Dhani adalah seorang seniman jenius yang melek politik.

Negara ini butuh Dhani. Sosok yang membawa nilai-nilai demokrasi dalam rezim otoritarian. Pribadi yang membawa terang dalam kegelapan. Karakter pemberontak yang dibutuhkan pada kerajaan firaun. Sehingga apabila lawan politik Dhani sedang tertawa telah menggagalkan Dhani menjadi seorang anggota DPR, sebenarnya mereka tidak tahu apa yang menjadi target utama Dhani.

Dhani bukan politisi. Dia tidak akan pernah menjadi seorang politisi. Dhani adalah pejuang politik. Berbeda pula dengan politisi yang target utamanya adalah kekuasaan. Pejuang politik target utamanya adalah menumbangkan rezim. Jadi tidak ada kata lain selain terima kasih ku untuk pihak-pihak yang telah membantu menggenapi takdir Dhani.

Sumbangan tulisan oleh:

Fransiscus Wawolangi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun