Kementerian Keuangan disindir oleh Prabowo Subianto Kementerian Utang.
Saya sendiri setuju dengan istilah baru itu dan memberi singkatan yang pas, yaitu KEMELUT (Kementerian Liabilitas dan Utang).
 "Kalau menurut saya, jangan disebut lagilah ada Menteri Keuangan, mungkin Menteri Pencetak Utang. Bangga untuk utang, yang suruh bayar orang lain", Begitu kritik Prabowo kepada Kementerian Keuangan. Jelas kritik itu beralasan, jika kita menengok data BI, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia periode akhir November saja tercatat sebesar USD372 miliar atau sekira Rp5.220 triliun (mengacu kurs RP14.000 per USD). Angka utang yang sangat besar ditanggung oleh Republik ini.
Perlu ada seseorang yang berani mengucapkan kebenaran meskipun itu pahit untuk diucapkan, tapi begitulah fakta dan datanya. Negara ini menanggung beban hutang yang sangat banyak. Jika kita perinci dari USD372 atau Rp 5.220 triliun dihabiskan USD183,5 miliar sebagai utang pemerintah dan Bank Sentral sedangkan sisanya USD189,3 miliar merupakan utang swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dari utang yang sudah digelontorkan begitu banyak apa yang sudah kita rasakan? Adakah ekonomi bertumbuh? Jawabannya tidak! Neraca perdagangan ekonomi justru mengalami kondisi terburuk sepanjang sejarah pasca reformasi. Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan sampai level 8,57 miliar dollar AS sepanjang 2018.
Utang sudah dicetak begitu banyak tapi ekonomi Indonesia tak juga bergairah, justru mengalami kelesuan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya jalan ditempat pada kisaran angka 5%, jauh dari angka janji yang pemerintah ucapkan bahwa perekonomian akan tumbuh sampai 7% bahkan 8%. Â Bahkan majalah ekonomi dunia The Economist pun sampai angkat pena untuk menuliskan secara tajam betapa lemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. The Economist bertubi-tubi menanjamkan penanya untuk mencatat kebijakan pemerintah yang dinilai justru melemahkan iklim usaha dan pertumbuhan ekonomi. Economist menilai pemerintah tidak memiliki taji yang mampu memperlihatkan ketegasan yang mampu membuat atmosfir investasi merasa aman. Kebijakan infrastruktur dan subsidi energi pun dianggap kurang tepat oleh The Economist sebab hanya berlandaskan kepentingan populis yang tidak memiliki dampat strategis pada ekonomi.
Kementerian Keuangan boleh meradang atas kritik Kementerian pencetak uang itu, tapi itulah faktanya. Menkeu semestinya berbenah membereskan kementeriannya, bukan justru malah antipati terhadap kritik. Kritik sejatinya adalah dukungan moral agar Kemenkeu memperbaiki diri, bukan justru malah membela lembaganya, meminabobokan masyarakat bahwa hutang Indonesia masih dalam angka yang wajar. Kemenkeu harusnya dapat berpikir efisiensi, bagaimana cara memaksimalkan utilitas dari sumber daya dan sumber dana yang ada untuk menggairahkan perekonomian. Bukan malah  meminjam bantuan utang kesana-kemari untuk menegakkan "benang basah bernama infrastruktur"
Jangan sampai kita sibuk bangun jalan tapi lupa dapur tidak lagi tersedia makan. Â Asik cetak mencetak lupa kalo dompet sudah cekak. Semoga rezim ini tidak membuat negri ini pertumbuhan ekonominya mangkrak.
Sumber:
https://economy.okezone.com
https://finance.detik.com
https://kumparan.com/@kumparanbisnis/
https://ekonomi.kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H