Pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali menjadi sorotan tajam. Pasalnya defisit neraca perdagangan yang terjadi pada periode 2018 kemarin mengalami anjlok pada level terburuk jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan seorang ekonom senior Faisal Basri mengatakan ekonomi Indonesia saat ini terburuk semenjak Indonesia merdeka.Â
Angka defisitnya pun fantastis menembus 7.51 miliar USD, kemampuan kalkulasi imajiner kita saja mungkin tidak sanggup membayangkan betapa banyak dan besarnya defisit neraca perdagangan RI itu. Defisit tersebut ditenggarai adalah imbas dari lesunya produksi ekspor RI, dan membengkaknya pemasukan Impor.
Para jajaran Menteri di tubuh pemerintahan pun menanggapi secara retoris dan normatif persoalan defisit neraca perdagang tersebut. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, tak seharusnya hal tersebut dibesar-besarkan.Â
Masyarakat juga perlu melihat dari sisi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) di tahun lalu yang diprediksi masih lebih baik dibandingkan 2014. Neraca perdagangan merupakan salah satu komponen perhitungan CAD.Â
Pada sisi lain, Mendag memandang secara optimis mengenai defisit tersebut, Enggartiasto Lukita menyebut defisit perdagangan di 2018 lebih banyak dipengaruhi oleh tingginya impor barang modal. Enggar menilai impor barang modal seperti mesin dan peralatan listrik tak perlu dikhawatirkan karena hal tersebut digunakan untuk hal produktif.Â
Jika kita menelisik pernyataan Mendag Enggar memang kenaikan impor barang modal seperti mesin dan peralatan listrik sebesar 22,02 persen yakni dari USD 7,139 miliar pada periode Januari-November 2017 menjadi USD 9,125 miliar pada periode sama di 2018. Tapi hal tersebut hanya sebagian kecil dari jumlah total angka defisit neraca perdagangan. Impor barang produksi hanyalah dalih untuk menyembunyikan masalah yang lebih dalam pada tataran ekonomi makro kita.
Menurutnya banyak industri dan komoditas ekspor Indonesia yang terpukul akibat adanya Perang Dagang tersebut. Banyak komoditas-komoditas yang sangat sensitif dapat terpengaruh akibat political judgement yang diambil suatu negara.
Menurut Peneliti INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) Bhima Yudhistira defisit neraca perdagangan adalah besarnya impor bahan baku yang dilakukan oleh BUMN yang digunakan demi membangun infrastruktur, impor komoditas besi dan baja naik drastis sebesar 20,78% pada Januari-November 2018.Â
Selain itu, pemerintah juga terlalu banyak menghabiskan anggaran untuk keperluan impor BBM disaat harga minyak sedang berada pada posisi yang tinggi. Konsekuensi impor BBM tersebut terpaksa harus diambil sebab target lifting minyak mentah meleset dari target yang dicanangkan. Defisit anggaran tersebut sebenarnya dapat ditanggulangi jika Indonesia secara gagah mampu memaksimalkan peran ekspor komoditas. Tapi sayangnya justru ekspor Indonesia pun tak berdaya.
Pemerintah seharusnya membenahi ekonomi secara sungguh-sungguh, sebab ekonomi adalah jantung yang menjaga dinamika kehidupan negara ini. Memang kita tau tagline pemerintah adalah kerja, kerja, kerja, tapi jika kerja tanpa menghasilkan apa-apa yang percuma saja, membuang energi. Mindset pembanguan harus diubah, permasalahannya bukan lagi soal infrastruktur tapi bagaimana menumbuhkan gairah ekonomi.
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H