Selama sepekan terakhir ini kita dijegal dengan berbagai persoalan tentang hidup manusia. Pada Kamis 15/4/2021 di Washington, Amerika Serikat dikejutkan dengan tiga penembakan massal di lokasi berbeda. Belum diketahui dengan pasti apa motif penembakan. Akibat dari insiden tersebut enam orang terluka, sebagaimana dikutip dari Harian Kompas Sabtu, 17/4/2021.
Masih di Amerika Serikat, penembakan terjadi di tempat lain yang menewaskan delapan orang dan sejumlah orang terluka. Pihak kepolisian masih mengungkap identitas dan motif pelaku 15/4/2021.
Selain persoalan tentang tembak menembak, diingatan kita tentu masih berbekas kisah sekelompok manusia yang terdiri dari para lelaki dengan sorban dan jubah panjang diturunkan dari sebuah mobil untuk mengobrak-abrik warung para penjual makanan di bulan puasa. Seingat saya kejadian itu ditayangkan di televisi pada 9/10/2007. Kisah pilu yang amat kita rasakan ialah ketika seorang wanita paruh baya membawa keranjang makanannya untuk dijual, lalu dirampas dan dibuang ke tanah oleh sekelompok lelaki bersorban. Wanita itu lalu menangis tak berdaya. Saat dilihatnya mereka yang bersorban dan jubah panjang itu menjauh, ia memungut lagi puing-puing makanan yang sekiranya masih bisa dimakan. Sangat menyesakkan hati perlakuan mereka sangat kejam, kasar dan ngeri.
Persoalan tentang hidup manusia juga kita simak dalam belasan tahun terakhir, kasus perdagangan manusia human trafficking yang marak terjadi. Tenaga Kerja Indonesia/TKI yang tidak memperoleh keadilan. Mereka digebuk, disiksa, martabat serta nilai hidupnya direndahkan. Sangat tragis.
Berbagai pertanyaan muncul bergelayut di kepala kita. Siapakah manusia sehingga tega memperlakukan sesamanya demikian? Siapakah manusia dimata sesamanya? Tembak menembak, gebuk menggebuk, bahkan membunuh sesamanya manusia. Persoalan tentang hidup manusia ini hendak dijawab dalam sebuah elaborasi pemikiran Aristoteles dan Thomas Aquinas, khususnya tentang hakekat badan -- jiwa yang kerap menjadi pertanyaan.
Karena itu persoalan seputar manusia selalu relevan untuk dibicarakan mengingat manusia sebagai makhluk yang adanya unik dan misterius. Ia harus menjawab siapa dirinya. Banyak pendapat atau teori yang mau menyingkap tabir misteri manusia dalam kaitannya dengan hakekat badan -- jiwa. Akan tetapi belum seluruhnya persoalan seputar manusia dapat tersingkap.
Seperti ditulis Louis Leahy (1989), manusia harus dilihat dari kompleksitasnya. Ia melebihi semua "komprehensi", ia menolak segala definisi yang mau menempatkannya dalam suatu essensi. Manusia tidak bisa berfose di depan dirinya. Ia akan lebih dikenal dalam dan melalui kegiatannya sendiri, dalam dan melalui eksistensinya. Untuk mengerti dirinya sendiri, manusia harus mengambil resiko dari pelampauan terus menerus.
Para filosof, seperti Aristoteles (384-322 SM) banyak berbicara tentang manusia dalam hubungan badan dan jiwa. Sang Filosof, sebutan untuk Aristoteles melihat manusia sebagai makhluk biologis -- psykis yang merupakan gabungan dari materi pertama dan jiwa (psyche).
Aristoteles melihat keduanya (materi pertama dan psyche) sebagai bentuk atau prinsip hidup. Karena itu, ia menyebut manusia sebagai substansi lengkap yang dibentuk oleh materi pertama dan jiwa.
Sang Filosof juga melihat dalam manusia ada sifat yang lebih tinggi, yang semata-mata rohani, yaitu: berpikir dan berkehendak. Persoalan yang muncul, bagaimana gejala-gejala ini dapat dijelaskan? Ia mengintrodusir sesuatu yang lain dari luar yang ia sebut Nous atau Roh.
Aristoteles mengatakan Nous sebagai kemampuan refleksif manusia yang disifatkan sebagai yang sangat halus, baka dan ilahi.
Aristoteles berpendapat bahwa roh itu berbeda dengan jiwa. Ia tidak terikat pada materi, karena itu dapat dipisahkan dari tubuh. Roh itu menurutnya bukan fana dari yang fana.
Untuk memperjelas pendapat Aristoteles ini, saya mengutip pendapat C.A. Van Peursen (1981) yang menegaskan bahwa: "Jiwa menurutnya bersama tubuh tampil di hadapan kita secara langsung dan konkret. Jiwa merupakan konteks di mana roh memanifestasikan diri, maka roh itu seolah-oleh memperlihatkan sifat-sifat dari dunia lain", demikian jelas Peursen.
Sang Filosof membagi lagi Nous menjadi dua bagian, yaitu: Nous poietikos yang ia sebut sebagai ratio aktif dan Nous pathetikos yang disebutnya sebagai ratio pasif atau penerima, sebagaimana dikutip dalam K. Bertens (1993).
Nous pathetikos menurut Aristoteles bisa binasa dan timbul dari potensi organisme. Karena itu Nous pathetikos oleh Sang Filosof disebut Nous tingkat rendah. Sedangkan Nous poietikos datangnya dari luar, sifatnya lebih tinggi karena berasal dari yang ilahi.
Di sini muncul persoalan karena Nous tidak cocok dengan hylemorfisme. Menurut Van Der Weij (1991) Hylemorfisme dapat menjelaskan manusia hanya dalam tahap psikosomatis saja. Ia gagal menemukan pemecahan secara tuntas tentang manusia, karena unsur yang ia kemukakan tidak cocok dengan hylemorfismenya.
Aristoteles berusaha menjelaskan persoalan yang ada tentang manusia dengan hlyemorfismenya. Tetapi tidak sampai pada kejelasan, karena ia memasukkan sesuatu yang lain, yang tidak dapat diterangkan dengan hylemorfismenya.
Orang yang berjasa menyempurnakan teori Aristoteles ini adalah Thomas Aquinas (1225-1274). Ia mengerti apa yang dimaksudkan oleh Sang Filosof tentang psyche dan Nous sebagai realitas yang sama dan dikonkretkan dalam satu nama yaitu jiwa atau anima.
Menurut Thomas Aquinas, manusia konkret merupakan gabungan dari dua substansi yang tidak lengkap, yaitu materi pertama dan jiwa. Lebih lanjut, menyimak ulasan Reksosusilo dalam Filsafat Antropologi (1995), bahwa dua substansi yang tidak lengkap yang dimaksudkan oleh Thomas Aquinas adalah gabungan jiwa dan badan. Ia melihat manusia secara utuh yang terbentuk dari dua unsur, jiwa sebagai substansi dan badan sebagai substansi. Jika hanya badan saja, maka bukan manusia dan jika hanya jiwa saja bukan manusia.
Kesatuan dari dua substansi ini menjadikan manusia konkret yang lengkap. Manusia menurutnya adalah kesatuan dari tubuhnya yang hidup bersama dengan jiwanya. Namun, Thomas Aquinas melihat jiwa sebagai sesuatu yang tunggal yang berdimensi rohani.
Jiwa sebagai prinsip hidup manusia yang tidak terkena kematian. Ketidakjasmaniaan jiwa nampak dalam kegiatan-kegiatan yang lebih tinggi yaitu berpikir dan berkehendak. Kerena itu orang yang tega menembak, mengebuk bahkan membunuh sesamanya adalah orang yang sangat rendah, bukan hanya martabatnya tetapi juga kemanusiaannya.
Thomas Aquinas tidak menolak pendapat Aristoteles yang memasukkan sesuatu yang lain dari luar ke dalam manusia. Menurutnya, penciptaan jiwa manusia adalah suatu tindakan campur tangan Tuhan dalam proses evolusi.
Proses ini memang berlangsung di bawah pengaruh Tuhan, tetapi bukan berarti campur tangan dari luar. Thomas Aquinas melihat jiwa sebagai warisan dari proses reproduksi. Timbulnya jiwa melalui proses reproduksi menurut Thomas lebih masuk akal dan dapat diterima daripada tindakan penciptaan dari luar.
Thomas menolak gagasan Aristoteles tentang penciptaan dari luar meskipun mudah untuk menjelaskan kebakaan jiwa. Tetapi sulit untuk menjelaskan jiwa yang timbul dari materi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H