Absurdnya Hakekat Dasar Teknologi Sebagai Sarana Pembebasan
Ide-ide dalam artikel ini menampilkan usaha menyibak akar-akar tragedi yang menyertai sejarah modern kebebasan. Ada kemerosotan berupa aliensi dan munculnya bentuk-bentuk baru perbudakan. Dewasa ini, gerakan atau usaha pembebasan termasuk teknologi telah membangkitkan harapan-harapan baru bagi peningkatan mutu kehidupan manusia. Tetapi gerakan pembebasan modern dengan kemajuan yang telah dicapai jauh dari tujuan dasar yang diharapkan zaman ini.
Gerakan pembebasan modern dalam realitas teknologi menimbulkan bahaya-bahaya dan ketakutan-ketakutan baru misalnya pembantaian, perang, penggusuran, perbudakan dan kehancuran nilai-nilai manusia. Penguasaan atas teknologi cenderung mengelimir martabat manusia lain. Misalnya, manusia 'Gaptek' (gagap teknologi) adalah sebutan untuk masyarakat miskin, tidak berpendidikan dan buta akan akses teknologi. Mereka dieliminir dari kehidupan dan persaingan globalisasi.
Selain itu juga, masalah serius dewasa ini adalah terjadinya kekaburan arti kebebasan. Kebebasan disempitkan pada "Aku" (egoisme atau ideologi individualis). Hal ini mencemari gerakan pembebasan dewasa ini melalui teknologi. Sehingga ancaman serius adalah perbudakan yang berasal dari kekuasaan manusia. Sesama menjadi obyek atau sarana mencapai tujuan. Para petani, pekerja keras, buruh, peternak kecil dan pedagang kaki lima menjadi obyek, terpinggirkan atau dieliminir dari persaingan pasar bebas dan globalisasi.
Suatu ironi misalnya masyarakat kota (orang dewasa, para remaja, anak kecil) merasa lebih 'gaul, hebat dan terpandang jika makan daging ayam atau nasi di restoran ala Eropa atau Amerika, ketimbang lesehan di kaki lima (lokal) yang menjual menu ayam bakar atau nasi yang sama. Hal ini dimungkinkan oleh mentalitas konsumerisme dan hedonisme masyarakat serta iklan yang cenderung membuai.
Teknologi dewasa ini juga telah berhasil menguasai alam. Dengan kekuasaan dan kebebasan buta manusia menggunakan teknologi untuk menundukkan alam. Contoh aktual yang dapat disimak misalnya menipisnya lapisan ozon, tanah longsor, banjir, penebangan hutan secara liar, efek rumah kaca, kekuarangan air bersih bagi masyarakat kota dan fenomena sampah yang membeludak.
Barangsiapa menguasai teknologi, ia berkuasa terhadap bumi dan manusia. Akibat yang muncul ialah bentuk-bentuk ketidak-sehimbangan antara mereka yang memiliki pengetahuan teknologi dan mereka yang hanya menjadi pemakai jasa teknologi. Hal ini nyata dalam persoalan pembagian kerja berdasarkan profesi, gelar, pendidikan, status sosial dan lain-lain. Bagaimana dengan dunia pendidikan?
Pendidikan menjadi sebuah industri yang dapat menarik keuntungan. Hal ini kita sebut sebagai komersialisasi pendidikan. Pendidikan menjadi komoditas bagi kaum "the have". Akibatnya anak didik menjadi sarana dan objek untuk mencari keuntungan.
Pendidikan menjadi tempat untuk "mencetak" manusia-manusia yang memenuhi tuntutan pasar global. Karena pendidikan berbasis teknologi dikedepankan dan pendidikan nilai moral agama dikesampingkan; maka, makna kebebasan yang berdimensi sosial, membela keadilan dan kebaikan menjadi luntur. Luntur karena arah dan makna pendidikan kehilangan dasar berpijak untuk membangun manusia yang adil dan berwawasan humanis.
Dewasa ini, ada kesenjangan dalam pengetahuan (IPTEK) dan kemiskinan struktural. Pendidikan atau pun politik, ekonomi dan lain-lain tidak menjadi wilayah para buruh, petani kecil dan masyarakat bawah. Mengapa? Karena pendidikan suatu sarana untuk mencari lapangan pekerjaan dan memberantas kemiskinan harus disesuaikan dengan tuntutan pasar kerja dunia yang dikuasai kapitalis.
Sedangkan pasar kerja dunia menuntut keahlian dan kemampuan di bidang teknologi. Realitasnya pendidikan memerlukan biaya yang mahal. Akhirnya, mereka tetap terpinggirkan, "Gaptek", kalah bersaing dan mudah dibodohi.