Dalam bagian satu upacara adat Tiwah saya telah menguraikan penjelasan sampai pada hari keempat, yaitu hari khusus yang diperuntukan bagi para wanita untuk menyiapkan puncak Tiwah. Maka pada bagian kedua ini saya akan melanjutkan uraian di hari kelima upacara tiwah yang disebut Andau Labon.
Pada hari kelima perkabungan dan pali berakhir. Seluruh suku diundang untuk berpesta juga mereka yang sudah meninggal. Orang-orang yang sudah meninggal diwakili oleh orang-orang yang memakai topeng.
Hari itu dimulai dengan Malalohan, yaitu pemberian hadiah. Orang-orang dari tetangga desa membawa beras, tuak, kelapa, binatang kurban, uang dan sebagiannya. Mereka datang dengan naik perahu yang dihias. Mereka datang bersama dengan nenek moyang mereka, yang diwakili oleh orang-orang yang memakai topeng dan berada di depan sendiri. Pada waktu mereka mendekati desa yang berpesta itu mereka dijemput oleh nenek moyang orang-orang desa itu dengan perahu yang diwakili oleh orang-orang yang bertopeng juga. Kedua kelompok itu kemudian mengadakan peperangan semu.
Sesudah beberapa waktu, penjemput yang bertopeng tadi mengundurkan diri ke desanya dan para tamu diperkenankan mendarat. Tetapi desa itu masih tertutup bagi mereka, karena masih ada rintangan-rintangan.
Rintangan pertama sebuah kain, kedua sebuah tikar, ketiga sebuah gong, selanjutnya ada rintangan bejana tanah liat, bejana yang berharga dan sebatang kayu. Penduduk desa menantikan para tamu di belakang rintangan yang terakhir. Tamu yang tertua memotong rintangan itu dengan mandaunya serta menyebutkan kekayaan dan jasa-jasa kepahlawanannya.
Dengan pemotongan segala rintangan itu selesailah waktu pali, pakaian perkabungan ditanggalkan dan mulailah pesta besar.
Hari keenam dan hari ketujuh adalah hari menyucikan orang-orang yang ikut serta dalam perayaan Tiwah tersebut.
Hal utama yang menjadi sorotan dari perbuatan-perbuatan di dalam upacara Tiwah itu adalah pendramatisasian mitos penciptaan. Yang digambarkan dengan rintang-rintangan itu adalah pohon kehidupan (Batang Garing) dengan buah-buahan yang banyak sekali. Para tamu dan mereka yang mengadakan pesta menggambarkan dua kelompok yang saling bersaingan. Sebagaimana kedua burung enggang di dalam mitos itu merupakan pohon kehidupan, demikianlah kedua kelompok tadi membinasakan dirinya sendiri di dalam peperangan semu.
Dari pembinasaan diri itu lahirlah suatu penciptaan yang baru, yaitu: "sial" yang meliputi desa ditiadakan karenanya. Pendramatisasian mitos penciptaan, yang berarti mengulangi dan menghadirkan kembali apa yang terjadi pada zaman dahulu demi keselamatan suku, juga terdapat di dalam upacara-upacara lain, seperti pada waktu ada kelahiran, inisiasi, perkawinan dan sebagiannya.
Upacara kematian seperti Tiwah bagi orang Dayak mutlak harus dilakukan. Sebab pengabaian akan menjadikan para liau tetap bertahan di Bukit pasahan raung, yang pada suatu saat liau-liau itu akan kehabisan daya hidup dan hilang begitu saja. Maka untuk memelihara daya tahan mereka biasanya setiap waktu tertentu diantarkan kurban-kurban makanan oleh kerabatnya, sampai kerabatnya itu mampu melaksanakan ritus yang diperlukan.
Keadaan liau yang dibiarkan, apabila ia habis daya tahannya dan hilang begitu saja berarti suatu kehinaan bagi keluarganya dan suatu kesedihan terberat. Karena liau yang tidak sampai ke Lewu liau berarti tidak berkumpul lagi dengan sukunya dan para moyangnya.