"Saya tidak mau terjebak pada romantisme budaya".
Sebagai seorang yang selalu terlibat bersama kaum milenial saya terusik untuk menulis budaya dan tradisi karena ada anggapan yang menilai bahwa kaum milenial tidak paham tentang budaya, tidak paham tentang tradisi, tidak mencitai budaya leluhur dan bersikap acuh tak acuh akan adat istiadat. Ada yang lebih miris lagi bahwa kaum milenial lupa akan nilai-nilai luhur dalam kebudayaannya sendiri.
Lewat artikel ini saya ingin menegaskan bahwa tidak semuanya kaum milenial bersikap acuh tak acuh terhadap tradisi dan adat istiadat. Buktinya dewasa ini ada banyak kaum milenial yang bergabung dalam sanggar tari, komunitas tenun ikat, komunitas rumah radang atau komunitas rumah betang, melestarikan alam dan menjadikannya wisata alam.
Romantisme budaya lebih tepat disebut sebagai situasi di mana budaya itu digambarkan sebagai sesuatu yang sangat menarik sehingga orang menutup kemungkinan terhadap kemungkinan kenyataan yang lain.
Sekali pun di beberapa artikel sangat khas suku Dayak namun gagasan-gagasan yang terkandung di dalamnya sama sekali tidak eksklusif untuk orang Dayak. Tulisan-tulisan dalam blog ini sangat terbuka untuk siapa pun yang hendak memahami dan mencintai budaya dan tradisi.
Saya ingin menyoroti masyarakat suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Dalam rangka perkembangan dan kemajuan masyarakat, banyak sudah usaha pemerintah untuk mengubah dan memajukan masyarakat suku tersebut dengan menyediakan fasilitas, pengarahan dan penyuluhan. Kehadiran pemerintah sangat memantu dalam memberi sumbangan demi kemajuan masyarakat itu. Namun, usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup suku pedalaman tidak jarang terhambat dan bahkan gagal. Banyak kamu muda yang telah dibantu untuk memperoleh pendidikan agar kelak dapat kembali membangun masyarakatnya. Namun kebanyakan setelah berhasil mereka tidak mau kembali kemasyarakatnya, melainkan justru mencari pekerjaan lain di kota-kota besar. Sedangkan mereka yang kembali kemasyarakatnya hidup menurut cara-cara tradisional.
Tetapi dewasa ini dengan masuknya gaya hidup modern lewat berbagai jalur, antara lain lewat perusahaan-perusahaan asing yang beroprasi di pedalaman, ternyata telah menarik perhatian masyarakat terutama kaum milenial atau kaum mudanya. Keinginan masyarakat untuk mengenyam dunia modern begitu besar, sampai mereka kurang melihat dampak negatifnya. Mereka bangga dan merasa sudah maju bila dapat memiliki barang-barang yang dianggap modern dan canggih. Memang dengan adanya barang-barang modern itu suasana sepi di pedalaman terasa sedikit semarak sehingga menimbulkan kesan sepertinya sudah maju.
Terkait dengan persoalan-persoalan tersebut, saya terusik untuk mengenal mentalitas masyarakat terlebih kaum milenial. Mentalitas masyarakat dapat dikenal lewat pemahaman nilai-nilai budaya dan faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi, menentukan dan membentuk mentalitas itu.
Masyarakat suku Dayak hidup disuatu daerah dengan situasi tertentu. Mereka memiliki kepercayaan, tata nilai, peraturan, hukum adat, kebiasaan yang sudah mapan dalam sistem budaya. Mereka mengenal semuanya itu sabagai adat. Adat mempengaruhi, menentukan dan membantuk mentalitas mereka dalam menghadapi masalah-masalah perkembangan, kemajuan dan modernisasi.
Tujuan saya sebagai generasi melenial menulis tentang budaya dan tradisi suku Dayak ini justru ingin memahami dan berbagi tentang keadaan masyarakat suku Dayak; situasi daerahnya; nilai-nilai agama; dan kebudayaannya; serta sumber daya yang lain yang mempengaruhi dan membentuk mentalitas mereka. Pemahaman ini perlu terutama bagi yang terlibat atau akan melibatkan diri dalam pembangunan manusia dan masyarakat suku tersebut. Agar dapat memperhitungkan nilai-nilai dan sumber-sumber daya mana yang perlu dikembangkan dan mana yang harus diubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H