Konsep hidup orang Dayak yang melihat alam secara sintesis-holistis itu sangat berperan bagi pemahaman yang baik tentang alam. Kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari alam.
Memang, manuisa diberi keistimewaan oleh Yang Tertinggi untuk dapat memanfaatkan dan mengolah alam. Tentunya pemanfaatan dan pengolahan alam itu harus dilakukan secara bertanggung jawab.Â
Dalam memanfaatkan dan mengolah alam masyarakat Dayak memiliki batasan-batasan. Batasan-batasan itu diatur dalam tata tertib hukum adat yang menjadi patokan dan pedoman bagi orang Dayak.
Sebelum 'manusia modern' sibuk mencari metode dan cara penanganan krisis lingkungan hidup akibat ulahnya sendiri, ternyata orang Dayak telah menghayatinya dalam religiositas mereka. Hal ini tampak jelas dalam religiositas kosmis masyarakat Dayak, terutama dimensi ekologis dan religiusnya.
Dimensi ekologis religiositas kosmis ini begitu mewarnai praksis hidup orang Dayak. Hal ini dapat dikatakan menjadi ciri khas orang Dayak sendiri. Persahabatan dengan alam dan alam yang dilihat sebagai tanda kehadiran dan keagungan Yang Tertinggi (Tuhan) itu mencetuskan kearifan dalam mengelaola alam dan sumber dayanya. Keyakinan ini menghancurkan dan membusukkan tudingan bahwa orang Dayak adalah perusak alam dan penyebab bencana alam.
Kesadaran orang Dayak akan keutuhan ciptaan dan kelestarian alam sangat tinggi. Orang Dayak tidak akan sembarangan memanfaatkan alam apalagi merusaknya. Mereka sadar bahwa mereka tidak memiliki emas atau perak atau barang berharga yang dapat diwariskan kepada anak cucunya.Â
Mereka hanya memiliki tanah sebagai warisan berharga bagi anak cucu mereka. Dengan mengolah tanah sewajarnya dan sepantasnya anak cucu mereka dapat memperoleh sumber hidup dari alam atau tanah yang mereka olah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H