Mohon tunggu...
Dismas Kwirinus
Dismas Kwirinus Mohon Tunggu... Penulis - -Laetus sum laudari me abs te, a laudato viro-

Tumbuh sebagai seorang anak petani yang sederhana, aku mulai menggantungkan mimpi untuk bisa membaca buku sebanyak mungkin. Dari hobi membaca inilah, lalu tumbuh kegemaran menulis.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Friedrich Nietzsche dan Kehendak Berkuasa

15 Oktober 2020   08:23 Diperbarui: 15 Oktober 2020   08:27 1316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena yang baru-baru ini terjadi di bangsa Indonesia seperti unjuk rasa, kekejaman, kekerasan, penindasan, bentrok dan bentuk kekerasan yang lain memang sulit untuk di bendung. 

Kita lihat saja unjuk rasa dan bentrok antara masa dengan aparat keamanan yang terjadi beberapa waktu yang lalu di Jakarta dan di daerah-daerah lain, oknum-oknum tertentu mengerahkan masa dan membuat kerusahan dengan membakar mobil-mobil dan merusak berbagai fasilitas umum karena ingin menuntut haknya seperti menolak pengesahan UU cipta kerja. 

Ini semua terjadi karena manusia yang satu ingin mengusai yang lain. Yang kuat mau menguasai yang lemah. Dan yang lemah berusaha untuk bertahan dan membela haknya.

Nietzsche filosof yang lahir pada tanggal 15 Oktober 1844 di Rocken rupanya juga memikirkan hal yang sejalan dengan pemikiran ini. Dia menulis sebuah buku yang berjudul "der Wille Zur Macht (The Will to Power)". Pemikiran Nietzsche ini kemudian menuai banyak kritikan dan dituduh sebagai penyebab tragedi kemanusian yang lain seperti perang dunia ke II. Salah satu filosof yang menuduhnya adalah Hendri de Lubac.

Apakah benar dan tepat bahwa kehendak untuk berkuasa yang digagas oleh Nietzsche menjadi penyebab tindakan kekerasan yang dilakukan oleh manusia dewasa ini? 

Apakah pemikirannya ini memiliki provokasi politik? Lalu apa sebenarnya kehendak berkuasa menurut pemikiran Nietzsche? Apakah kepentingan "kehendak untuk berkuasa" bagi hidup manusia dewasa ini? Tulisan ini mengulas pandangan Nietzsche tentang Kehendak Berkuasa.

Kehendak dalam Perspektif Nietzsche 

Kehendak dalam bahasa Inggris: will; bahasa latin: voluntas; Yunani: Boulema. Semua istilah ini mengacu kepada suatu potensi atau daya dalam manusia yang terlibat di dalam pengambilan keputusan. 

Bagi kelompok voluntarisme, kehendak lebih unggul atas rasio. Sebaliknya kelompok intelektualisme melihat rasio sebagai yang menentukan kehendak. 

Nietzsche membongkar modernisme dengan menyangkal dan menolak rasio. Akibatnya, dari sendirinya runtuhlah bangunan, sistem itu. Runtuh artinya periode ini sudah masuk dalam periode tidak. 

Artinya, sejarah sudah tidak seperti yang dekonstruksi oleh Hegel. Epistemologi tidak lagi seperti yang diajukan oleh Kant, termasuk penilaian moral. 

Kant mengajar moral dengan prinsip ontologisasi dan deontologisasi yang melakukan pendekatan pada moral. Nah, bagaimanakah pengertian kehendak menurut Nietzsche.

Kehendak dalam pengertian Nietzsche bukan merupakan subtansi metafisik yang dimiliki oleh subjek seperti yang digagas oleh Schopenhouer. Menurut Nietzsche kehendak adalah kekuatan yang memerintahkan tanpa mengandaikan suatu satbilitas/pasivitas. 

Kehendak untuk berkuasa itu tidak dikaitkan dengan subjek dengan kata lain kehendak untuk berkuasa itu cukup bekerja dengan dirinya sendiri dan mempunyai refleksivitas yang transendental. 

Kehendak untuk berkuasa meruapakan daya dorong hidup universal yang terdapat dalam diri setiap manusia. Kehendak itulah yang menggerakkan manusia menuju kepada kehendak untuk berkuasa.

Pemikiran Nietzsche tentang kehendak bukanlah dalam arti psikologis, sosiologis atau metafisis melainkan merupakan pengiyaan diri atas hidup. Kehendak berkuasa meruapakan gejala yang sifatnya plural yang muncul karena terjadinya perbedan kekuatan. 

Berkehendak pertama-tama memiliki keragaman perasaan, yakni tentang kondisi di mana perasaan kita bergerak. Kehendak untuk berkuasa bukanlah sebagai subjek tetapi ia memiliki keberagaman atau plurlitas. Kehendak sebagai daya pendorong utama dalam hidup manusia tidak pernah boleh dilihat sebagai suatu subjek yang dilihat Schopenhour. 

Kehendak harus dilihat sebagai pengiyaan atas hidup. Dalam tulisan "Kehendak untuk Berkuasa", Nietzsche mengafirmasi bahwa manusia itu memiliki power yang luar biasa. Nietzsche menyebut manusia sebagai will to power, inilah yang disebut kehendak bebas.

Hakekat Kekuasaan Menurut Nietzsche

Kuasa adalah kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu. Kuasa adalah wewenang atas sesuatu. Kuasa adalah kekuatan untuk mempengaruhi dan menentukan sesuatu bagi pihak lain. Tentu definisi kuasa di atas bukanlah pengertian kekuasaan yang dimaksud oleh Nietzsche.

Bagi Nietzsche semua makhluk termasuk manusia menginginkan kekuasaan. Tidak hanya menginginkan tetapi mengharapkan penambahan kekuasaan. Kehendak berkuasa adalah prinsip untuk menerangkan perilaku, khususnya perilaku yang tidak disukainya. 

Gagasan ini bersifat psikologis. Bagi dia, tokoh yang digerakkan oleh kehendak semacam ini adalah Richard Wagner. Nietzsche melihat kekuasaan sebagai dorongan hidup yang dimiliki oleh orang Yunani kuno.

Nietzsche mengunci bahwa kehendak itu ialah untuk berkuasa. Contohnya, seperti yang disebut Thomas Hobbes, ketika manusia lahir, dia menangis. Tangisan ini bukanlah sekadar tangisan. Tangisan itu adalah raungan untuk menerkam yang lain. Manusia itu bukan manusia yang suka menjadi orang yang lebih lemah. 

Tak mungkin kamu menjadi manusia untuk mempunyai posisi yang lemah. Pemerkosaan adalah cetusan yang paling jelas dalam hal ini. Tentu saja Nietzsche tidak bicara soal pemerkosaan. 

Tetapi Nietzsche bicara bahwa kepentingan dari nilai itu kerap berada pada kutub untuk berkuasa. Dalam Nietzsche, tidak ada yang namanya baik buruk sedemikian rupa, sebab tindakan atau perbuatan manusia itu berdasarkan pada kesadarannya sendiri, pada dirinya sendiri. Bagaimana kalau de facto ia ingin memukul orang? 

Yang bersangkutan pasti bukan memukul untuk memukul, tetapi dia berada pada self deception, artinya penipuan diri sendiri. 

Kelompok masa yang sedang bentrok dan baku pukul dengan aparat keamanan misalnya, mereka ikut bentrok bukan karena mereka ingin dipukul, tetapi mereka mengira bahwa mereka bentrok dan baku pukul untuk keadilan, dengan melakukan aksi demo.

Hakekat kekuasaan sebagaimana dimengerti oleh Nietzsche adalah pedoman dan ukuran yang menentukan hidup manusia dalam segala bidang. Egalitarisme pun dilatarbelakangi oleh motif kekuasaan. 

Kekuasaan dalam pandangan Nietzsche merupakan dasar dan pendorong bagi seluruh tindakan manusia termasuk tindakan baik yang dilakukan seseorang digerakkan oleh kehendak berkuasa ini. 

Implikasi atas pernyataan ini sangat luas sehingga dapat melegitimasi adanya penindasan satu kelompok yang berkuasa atas kelompok yang lemah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun