Mohon tunggu...
Dismas Kwirinus
Dismas Kwirinus Mohon Tunggu... Penulis - -Laetus sum laudari me abs te, a laudato viro-

Tumbuh sebagai seorang anak petani yang sederhana, aku mulai menggantungkan mimpi untuk bisa membaca buku sebanyak mungkin. Dari hobi membaca inilah, lalu tumbuh kegemaran menulis.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dilema Menjadi Buruh di Perusahaan

12 Oktober 2020   08:59 Diperbarui: 12 Oktober 2020   09:06 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para pekerja dan buruh di Indonesia mengalami kondisi yang sangat sulit dalam kehidupan mereka. Di masa pandemi covid-19 terjadi cukup banyak pemulangan tenaga kerja atau bahkan pemutusan hubungan kerja terhadap para buruh dan pekerja yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar. Di satu sisi mereka harus menerima kenyataan ini tapi di sisi lain mereka juga harus bertahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 

Ditambah lagi dengan pengesahan UU cipta kerja pada tanggal 5 Oktober lalu para buruh seakan-akan menghadapi badai cobaan hidup yang semakin mempersulit keadaan. 

Dilema menjadi buruh di perusahaan seakan-akan dipertegas oleh kedua kondisi ini. Bagaimanakah kenyataan ini dihadapi oleh masyarakat yang hidup di perkotaan dan di pedesaan? Apakah ada upaya-upaya mereka untuk bertahan?

Kenyataan menunjukkan bahwa sentral-sentral ekonomi atau pusat-pusat industri pada umumnya dibangun dan didirikan di perkotaan. Sedangkan orang yang kebanyakan tinggal di pedesaan, jarang mendapat kesempatan kerja pada sentral-sentral ekonomi tadi. 

Mereka tinggal jauh dari perkotaan dan kurang berpengalaman, kalaupun ada yang mendapat kesempatan, jumlahnya sedikit. Kesempatan orang kota lebih terbuka lebar untuk masuk pasaran kerja dibandingkan dengan orang di pedalaman yang berasal dari desa.

Walaupun demikian mereka haus akan pengalaman dan sudah "jenuh" hidup di desa tetap nekad mau bekerja di perusahaan sebagai buruh kasar yang tidak memerlukan keahlian atau keterampilan khusus.

Mereka dengan senang hati bekerja sebagai buruh kasar asalkan halal. Untuk menjadi "orang penting" di salah satu perusahaan, mereka tidak punya bakat. 

Kebanyakan anak muda sekarang lebih senang bekerja di perusahaan-perusahaan besar. Pada umumnya mereka menganggap bahwa bekerja di perusahaan lebih bergengsi dari pada bekerja di kebun atau ladang.

Kalau diamati secara teliti, sesungguhnya sistem atau bentuk perekonomian masyarakat sangatlah bergantung pada tempat tinggalnya. Mereka yang tinggal di perkotaan, sosial-ekonomunya sudah mirip atau dipengaruhi oleh sosial ekonomi barat. Kehidupannya pun sudah membaur. Lapangan pekerjaan yang mereka masuki sudah sangat beragam.

Melihat lahan pekerjaan yang mereka masuki sudah sangat bervariasi, maka dapatlah dikatakan bahwa tingkat perekonomian mereka yang tinggal di perkotaan lebih baik. 

Mereka sudah berani bersaing dan menyesuaikan diri dengan kelompok lain. Sedangkan perekonomiaan mereka yang tinggal di pedesaan, masih sangat sederhana, hampir tidak terlihat tingkat-tingkat sosial ekonomi yang mencolok.

Umumnya mereka yang tinggal di pedesaan keadaan sosial ekonominya sama. Perbedaan hanya terletak pada yang rajin dan yang malas. Mereka yang rajin bekerja, memperoleh hasil yang lebih banyak. 

Keadaan rumah beserta perabotnya pun tampak lebih baik dibandingkan dengan mereka yang malas. Mereka yang malas bekerja, keadaannya sungguh memprihatinkan, anak mereka pun tidak dapat mengenyam pendidikan.

Kenyataan hidup orang-orang di pedesaan umumnya sangat memprihatinkan. Kemajuan dari tahun ke tahun sangat minim ditambah dengan persoalan covid 19 yang belum berakhir. 

Lingkaran hidup di desa-desa khususnya desa terpencil sangat sulit diperbaiki, bila tidak disertai dengan kerja keras di bidang pendidikan. Melalui pendidikan sistem perekonomian mereka akan sedikit berubah. 

Tatanan sosial yang monoton akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat. Karena itu sikap mental mereka harus diubah lewat jalur pendidikan. Proyek ini membutuhkan waktu. Pelaksanaanya harus tahap demi tahap, tidak dapat secara menyeluruh atau sekaligus.

Menurut pengamatan saya selaku anak desa yang hidup dan dibesarkan di tengah-tengah kebudayaan setempat, ada semacam tiga tingkatan atau lapisan ekonomi masyarakat, yaitu: 

Pertama, ekonomi statis. Sistem perekonomian ini merupakan perekonomian yang masih sangat sederhana, tradisional dan hampir tidak mengalami perubahan. Keadaan ekonominya dari waktu ke waktu pas-pasan. Ada sedikit perubahan apabila ada pengaruh dari dunia luar. 

Keadaan masyarakat yang demikian itu dapat kita jumpai di pelosok pedalaman terpencil. Hidup mereka tertutup dan masih sangat bergantung dengan alam. Taraf hidupnya masih dalam perjuangan yang akhirnya membawa dampak pada tingkat kemajuan yang sangat lamban dan boleh juga dikatakan statis.

Kedua, perekonomian yang berkembang. Hidup sosial ekonomi rakyat yang berada pada level ini sudah lebih maju dibandingkan dengan mereka yang berada di lapisan pertama. 

Keadaan masyarakatnya sudah mulai berubah, orang-orangnya mulai ada yang ke luar dari kampung atau desanya untuk menuntut ilmu pengetahuan atau pekerjaan di tempat lain. 

Ada di antaranya yang sudah mengenyam pendidikan, menjadi sekertaris atau mandor di perusahaan. Bahkan ada yang menjadi pegawai negeri atau menjadi guru.

Umumnya mereka yang tergolong pada lapisan ekonomi berkembang, sudah bisa menabung. Mereka sudah bisa memilih dan memikirkan masa depan, sehingga dapat mengatur dan mengembangkan perekonomiaannya dengan lebih baik. 

Cepat atau lambat masyarakat yang demikian akan mengalami perubahan. Pengaruh dari luar pun sudah mulai masuk dan mereka mulai membuka diri. Pengaruh ini bisa masuk baik melalui agama maupun pendidikan. Pada lapisan ini mereka sudah mulai sadar akan hak dan kewajibannya.

Ketiga, perekonomian yang stabil. Keadaan ekonomi masyarakat yang berada pada tingkat ini sudah mulai mapan. Ekonomi mereka sudah mulai membaik. Umumnya, orang-orangnya mempunyai pangkat atau jabatan tertentu di perusahaan atau di pemerintahan. 

Tempat tinggal mereka pun di perkotaan. Pola hidupnya mirip dengan pola hidup manusia modern berkat pendidikan yang mereka peroleh. Terkadang mereka menjadi eksklusif dan memasukan diri pada kelompok elit. 

Terkesan mereka berada di kelas masyarakat tertentu. Tingkah-laku dan pergaulan hidupnya juga berubah, kepedulian sosialnya pun mulai berkurang. Ada banyak yang sudah lupa tempat asal atau kampung halamnnya.

 Gaya hidup demikian mulai "menggejala" pada generasi berikutnya, yang karena tidak pernah dibawa ke kampung orang tuanya, lama-kelamaan lupa "asal-usulnya" bahkan lupa adat istiadatnya. 

Dalam kenyataan ini keberhasilan atau kesuksesan dapat dilihat dari banyaknya uang dan harta. Materi dan uang menjadi ukuran nilai. Karena itu uang kerapkali menjadi dewa sehingga setiap orang berjuang dengan segala cara untuk memperolehnya. 

Saat ini rakyat dihadapkan pada kenyataan covid 19 yang belum berakhir ditambah dengan dikeluarkannya UU cipta kerja yang dalam tanda kutip merugikan buruh atau pekerja baik mereka yang berada di kota-kota besar atau pun di pedesaan. 

Para pekerja atau buruh tidak dapat hanya diam atau berpangku tangan. Mereka juga tidak dapat berharap banyak dari pemerintah yang perlu mereka usahakan saat ini ialah memikirkan bagaimana mereka dapat sekreatif mungkin untuk mendapatkan uang agar tetap dapat bertahan hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun