Kebiasaan menonton tayangan berdampak buruk bertahun-tahun yang lalu itu, membuat kita lepas kontrol. Emosi kita lepas kendali. Apalagi jika melihat tayangan yang katanya "settingan" seperti Termehek-mehek, kita tentu emosional. Kok ada orang seperti itu, tega banget berlaku demikian dan lain-lain.Â
Acara televisi kita pun mulai tumbuh dewasa, kita sudah bisa dan terbiasa untuk berdiskusi dan meningkat ke level berdebat. Muncul lah acara talk show, diskusi, dan terakhir stand up comedy. Kita mulai terbiasa mendengarkan. Yang tadinya hanya menonton, kita mulai mengolah, mencerna setiap materi, bahan yang didiskusikan.Â
Awalnya sih cukup baik, positif. Bahkan sebuah tayangan yang memotivasi "Goldenways" pak Mario Teguh bisa bertahan selama 11 tahun, Kick Andy Metro TV sejak 2006 hingga saat ini masih tayang dan menarik minat pemirsa. Namun, lagi-lagi karena kreativitas yang kebablasan, seringkali merusak hakikat dari Tujuan Baik tayangan itu sendiri. Terlalu banyak drama lebai yang dimasukkan ke sebuah tayangan serius. Terlalu banyak settingan yang dibuat hanya untuk membuat tayangan tidak monoton menurut mereka yang justru merusak nilai tayangan itu sendiri.
Dialog yang baik, berubah menjadi nyinyir, sebuah celetukan-celetukan yang awalnya untuk mencairkan suasana, membuat suasana lebih hidup, kebablasan menjadi kebiasan buruk kita menjelekkan orang lain, mengomentari tanpa dasar, sebuah program, kejadian yang dialami. Padahal faktanya tidak seperti itu.
Bahkan hal-hal sepele seperti masalah lidah jawa pak Presiden menjadi becandaan orang yang membencinya, Al Fatekah, dan parahnya terjadinya bencana pun disebabkan oleh seorang Jokowi, hadeh.
Itu lah ketika Nyinyir telah menjadi Iman kita. Al Nyinyirun Minal Iman. Kondisi ini sebenarnya bisa dihindari, kita kembali ke dalam kondisi normal, bila orang yang kita hormati, seperti Guru, Dosen, Ustad, Ulama, Pimpinan, ikut menyejukkan suasana. Tetapi bila doktrin buruk bahkan fitnah terus menerus dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki audiens, pengikut ini pun ikut nyinyir, kolaps lah kita.Â
Hanya kita yang bisa memperbaiki moral kita. Hanya kita yang bisa mengendalikan emosi kita. Hanya kita yang bisa menjaga lisan kita untuk tidak berucap sebelum mengetahui kebenaran sebenarnya. Sehingga celetukan-celetukan, kenyinyiran yang kita anggap biasa itu bisa kita hilangkan. Betapa bully-bully di medsos itu bisa menggiring orang depresi bahkan bunuh diri.Â
Lihatlah instagram, facebook artis-artis kita, bahkan artis luar yang tenar disini, penuh dengan jualan bahkan caci maki yang miris kita melihatnya. Maksud sang artis berbagi kebahagiaan, berbagi cerita, dirusak dengan komen-komen orang yang mengikutinya.Â
Parah. Belum lagi kita lihat politisinya, yang punya panggung nusantara, apa yang dia ucap muncul di koran aceh hingga papua, siang dan malam. Kalau guru, ustad hanya mempengaruhi murid di kelasnya dan jamaah pengajiannya, lah kalau poliltisi nyinyir, seantero Indonesia melihatnya, mendengarnya, bahkan meretweet, menshare komentar dan videonya. Al Nyinyirun Minal Iman
Semoga kita bisa kembali ke dalam pikiran jernih kita. Tidak ikut-ikutan nyinyir dan bisa mengubah pola pikir kita untuk Kebaikan kita juga ke depannya. Sehingga keimanan kita sebenar-benar Iman orang yang berTuhan. Aamiin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H