Bebas merdeka memang dambaan semua insan yang hidup. Bebas melakukan apa saja tanpa dikekang suatu aturan sangat lah menyenangkan hati semua orang. Tetapi apakah aturan dan ketentuan yang dibuat itu berarti mengekang kebebasan kita. Mungkin iya, tetapi aturan yang ada baik tertulis maupun tidak itu dibuat untuk keseimbangan. Ya, keseimbangan.
Kebebasan yang dimiliki binatang liar sekali pun, batasannya selalu ada, kenyang atau puas. Singa yang kenyang tidak akan memangsa korbannya meskipun berada disampingnya. Sapi yang puas tidak akan kawin di luar musim kawin. Binatang yang tidak memiliki akal tetap memiliki batas kebebasannya sendiri manakala tingkat kepuasannya terpenuhi.
Berbeda dengan kita, Manusia. Kita diberikan akal pikiran yang membedakan dan memuliakan kita dengan binatang seringkali menjadi lebih hina dari binatang manakala kebebasan kita tak pernah bisa mencapai level puas. Kebebasan kita menabrak hak dan kepentingan orang lain.
Kita yang mengaku beragama ini akan sangat tersinggung sekali manakala dibilang kafir. Ntah apa sebabnya kita pasti tersinggung. Tetapi sikap kita yang seperti orang tidak berTuhan itu seringkali tidak kita sadari melebihi pemenuhan kepuasan binatang yang ada batasnya tadi.
Ntah apa sebabnya, orang bisa memarkirkan kendaraannya serampangan saat sholat di mesjid. Tujuannya sih baik, benar, dia mau menghadap Tuhannya, mau memuji Tuhannya, memohon ampun dosanya, memanjatkan doanya. Tetapi di luar sana dia memarkir kendaraannya menutupi kendaraan orang lain, tidak memberi tempat bagi yang lain, wudhu'nya seperti mandi, menghambur-hamburkan air, tidak menutup kran air, tidak menyiram air kencingnya, tidak menyeka kakinya sehingga becek-becekkan yang bisa menyebabkan orang lain terpeleset.
Mereka yang berpendidikan tinggi itu akan sangat marah bila ditegur agar minggir dari pintu lift untuk mendahulukan orang yang keluar terlebih dahulu bukan malah menyerobot masuk. Mereka yang merasa tinggi pendidikannya ini tahu semua, dalam segala hal, sehingga dikasitau untuk tertib pun salah, gak boleh.
Ibu-ibu yang niatnya mengantar anaknya sekolah di pagi hari malah membonceng anaknya dengan ngebut, melawan arus dan gak pakai helm. Pagi-pagi di saat kondisi badan dan pikiran masih fresh, anak-anak kita disuguhi oleh orang tua yang melanggar aturan. Mengajari anaknya untuk berbuat yang sudah jelas tidak boleh dicontohkan.
Membenarkan Hal Biasa bukan Membiasakan Hal Benar
Lagi-lagi kita menganggap semua hal-hal buruk itu adalah Benar dan itu merupakan kebiasaan kita. Membuang tisu di jalan dari jendela mobil sudah hal biasa, ah ntar juga ada petugas kebersihan yang menyapunya. Pulang sholat id, sampah koran sebagai alas sholat dibiarkan tergeletak di lapangan, puntung rokok bertebaran karena merokok saat khatib ceramah. Semua itu hal sepele dan merupakan hal buruk yang biasa kita lakukan setiap saat.
Banyak lagi hal-hal buruk yang biasa kita lakukan sehari-hari yang kita anggap itu hal yang sangat biasa dan kita akan marah jika dikasitau, ditegor orang lain. Alah, semua juga begitu kok.
Berjualan di trotoar, sampahnya dibuang ke got, listriknya nyolong langsung dari tiang merupakan pemandangan lumrah di hampir seluruh penjuru kota