[caption caption="Ilustrasi - tidak bergantung kepada pramugari ketika dalam penerbangan. (Shutterstock)"][/caption]Teringat kisah di akhir April 2006, saat training di Lembaga Kursus IMF (STI), Singapura. Saat itu kami peserta kursus yang berasal dari beberapa negara itu dilayani oleh hanya segelintir pegawai STI (2-3 orang) saja. Mulai dari penjemputan di bandara, penginapan, akomodasi, pelaksanaan pelatihan, jamuan makan, tur ke tempat wisata, sampai dengan pemulangan ke negara masing-masing.Â
Mereka sangat profesional dan terkoordinasi. Urusan penjemputan dan pemulangan serta tur diserahkan ke departemen pariwisata Singapura, sedangkan urusan akomodasi dan pelatihan diurus oleh STI. Kegiatan berlangsung selama 2 minggu dan semua peserta merasa senang. Ilmu didapat, tidak stres, kunjungan ke tempat wisata pun didapat. Panitia sangat baik mengemas acara tersebut. Kegiatan tersebut sampai kini masih tetap berlangsung, dengan berbagai jenis kursus yang ditawarkan oleh IMF.
Yang membekas di benak saya sampai saat ini adalah kejadian di mana Miss Eliz (Elizabeth Theo) saat itu orang yang bertanggung jawab terhadap kegiatan tersebut, mengangkat galon aqua (air minum) yang habis ke dispenser. Ya, betul. Seorang Miss Eliz mengangkat sendiri dan menuangkannya ke dispenser. Saat itu kami yang sedang istirahat (coffee break), terperanjat, dan buru-buru ingin membantunya. Lalu apa yang dikatakan Miss Eliz, "Terima kasih, tidak usah. Ini memang tugas saya." Wow... Miss Eliz tidak mau ditolong.
Dia membersihkan galon itu dan menggantinya dengan mengangkatnya sendiri. Ternyata kami yang baru melihatnya di hari itu, di hari sebelumnya teman yang lain juga telah melihatnya dan berniat untuk membantunya tetapi semua ditolaknya. Begitulah Miss Eliz menganggapnya itu merupakan kewajibannya, tanggung jawabnya. Bukan tugas dari office boy atau jika itu pun menjadi tugas mereka tetapi saat aqua itu habis, Miss Eliz tidak harus menunggu si office boy itu muncul untuk menggantinya. Boleh jadi si office boy lagi bertugas di tempat lainnya. Semua yang pernah kursus di STI, periode itu pastilah mengenal Miss Eliz.
Ada lagi kisah Pak Udin yang sehari-hari bertugas membantu anak-anak dan orang-orang menyeberang jalan di depan sebuah SD di Jalan Sisingamangaraja, Tanjung Morawa Medan. Jalan Sisingamangaraja merupakan jalan lintas Sumatera yang padat dengan kendaraan lalu lalang. Dengan ruas jalan yang sangat lebar (6 jalur), hal ini sangat menyulitkan orang-orang untuk melintas di jalur tersebut. Pak Udin, seorang bapak tua, sekitar 60-an tahun, tergerak hatinya, setiap pagi dan siang, terutama di jam-jam masuk dan pulang sekolah, ia melakukan tugasnya untuk menyeberangkan orang-orang terutama anak-anak sekolah. Ia melakukannya dengan tulus dan tanpa pamrih, dengan bekal sempritan dan bendera di tangan ia membantu menyeberangkan anak-anak. Kepedulianlah yang menggerakkan dirinya melakukan hal tersebut. Bukan karena pengen terkenal, mengharap uang atau pahala.
Mungkin banyak lagi kisah kepedulian yang dengan tulus dilakukan orang-orang yang pernah kita lihat, kita dengar, dan kita alami. Atau mungkin kita adalah salah satu dari orang-orang yang peduli dan langsung mau melakukan sesuatu tanpa harus menunggu dan mengharapkan orang lain melakukannya untuk kita, untuk mereka, dan untuk semua orang.
Tapi, kini... seberapa banyakkah kita menjumpai orang-orang yang memang peduli dengan sesama, yang memang benar tulus ikhlas melakukannya tanpa harus menunggu orang lain, mendapatkan imbalan, pujian, dan simpati orang lain? Kalo bicara di tataran pemimpin, ah sudah lah. Orang pasti mengatakannya itu Pencitraan. Menjelang pemilihan anggota DPR, presiden, gubernur, bupati, camat, dan sebagainya itu, adalah yang tiba-tiba pakai baju Mickey Mouse ke pasar, adalah yang mungut-mungut sampah, adalah yang tiba-tiba bagi-bagi sembako dan sebagainya. Setelah tidak terpilih, wassalam itu semua. Itu calon pemimpin.
Lalu bagaimana dengan kepedulian diri kita sendiri?
Pulang kerja pukul 9-10 malam, sampai depan rumah kita klakson-klakson untuk dibukakan pintu pagar. Sampai di dalam rumah kita menyuruh pembantu yang sudah dari subuh membantu menyiapkan keperluan rumah tangga kita, mengurus dan menjaga anak-anak kita, yang waktunya mereka istirahat, kita suruh masak air panas untuk mandi kita. Lalu kita minta buatkan minuman, menghangatkan makanan dsb. Anak-anak kita untuk ngambil air minumnya, bukunya, remote tv teriak-teriak minta diambilkan kita, pembantu kita. Itu kan memang tugas pembantu, si mbak, si mbok. Buat apa dibayar kalau tidak mau kerja. Kalau pukul 9 sudah tidur. Lha Anda kerja di kantor dengan gaji berpuluh kali libat si mbak, jam kerjanya berapa jam. Mereka berapa jam?
[caption caption="Dont care. Sumber: askideas.com"]
Perawat-perawat ini bisa-bisanya ngobrol, ngerujak, ngerumpi, baca majalah, bahas Sophie Martin, Oriflame atau Tupperware terbaru. Seolah-olah pasien yang memang benar-benar perlu perawatan khusus itu tidak ada. Mereka sangat cuek. Apalagi sekarang ada BPJS. Perlakuan perawat atau petugas kasir sepertinya terlalu berlebihan membeda-bedakan pasien. Sepertinya gaji mereka tergantung dari uang si pasien, bukan dari rumah sakit yang menggajinya. Rasa empati, peduli itu hilang dimakan rasa sombong yang gak jelas.
Di perumahan, di jalanan, tempat-tempat umum waaah rasa peduli ini sangat sulit kita dapatkan. Masing-masing merasa itu tanggung jawab yang lainnya. Melihat sampah di jalan, semua tidak ada yang mau memungut dan membuangnya ke tempat sampah. Sehabis sebuah acara, car free day, bazar, sholat ied, pasar kaget, sudah jamak kita jumpai sampah bertebaran di mana-mana. Belum lagi orang-orang yang dengan seenaknya membuang tissue, botol minuman, bungkus makanan dari jendela mobilnya, meskipun mobilnya mewah sekalipun tetapi hatinya miskin.
Peduli itu datangnya dari diri sendiri. Bahkan dalam Islam diajarkan dengan membuang duri di jalanan akan diganjar dengan pahala. Tetapi ajaaran-ajaran itu sekarang hanya klise. Lu lu gue gue. Lu ngerjain sukur gak lu kerjain ntar juga ada yang ngurusin. Urus masing-masing deh.
Banjir adalah salah satu akibat dari minimnya kepedulian saat ini. Dulu kita di kampung-kampung masih mengenal siskamling, gotong-royong sebulan sekali membersihkan got, parit, selokan di sekitar kita. Sekarang, jenis sampah plastik meningkat, sementara kegiatan gotong-royong membersihkan lingkungan tidak ada lagi. Sangat wajarlah jika hujan sebentar saja, hampir di seluruh kota-kota di negeri ini banjir. Paritnya yang dalam semeter tinggal 5 cm yang bisa dialiri air, bahkan di beberapa tempat sudah mampet sama sekali, tertimbun dengan sampah, buangan bekas pasir, semen, pembangunan ruko dsb..Â
Parit-parit ditutup untuk dijadikan tempat berjualan di atasnya. Sampah jualan dibuang ke selokan. Di sisi lain, dari lurah, camat, bupati, walikota setempat tidak ada program membersihkan seluruh selokan yang ada. Dan mengangkut sampah, pasir, tanah yang sudah dibersihkan dari selokan tadi. kalau dibersihkan tetapi tidak langsung diangkut ke pembuangan sampah, ya sama saja lama-lama akan masuk lagi ke selokan tadi. Selesai semua.
Kepedulian sangat jauh dari kehidupan kita saat ini. Memberikan bangku-bangku bagi ibu hamil, perempuan di kendaraan umum. Baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan persaingan yang terjadi di gerbong-gerbong khusus perempuan di kereta lebih sadis lagi. Banyak perempuan yang lebih nyaman naik gerbong campuran daripada mereka naik di gerbong khusus. Karena tingkat egoismenya sangat tinggi. Tingkat kepedulian lelaki kepada perempuan, anak-anak, orang tua di gerbong campuran lebih baik dibandingkan kepedulian perempuan.
Trus ke mana lagi kita. Demikian juga dalam antrian. Di depan lift, begitu lift terbuka, buru-buru orang yang mau naik ngeblok, masuk ke dalam lift yang terbuka, sementara orang yang di dalam belum keluar. Bahkan yang ada troli barang pun menjadi kesulitan untuk keluar. Di parkiran begitu juga, orang yang mau keluar diblok oleh orang yang mau masuk sehingga menimbulkan antrian panjang. Di jalanan apalagi, pejalan kaki diserobot haknya oleh pemotor. Pemotor diblok oleh yang bawa mobil. Angkutan umum menunggu penumpang di dalam gang yang nun jauh di sana. Begitu sampai di mulut gang, dengan merasa tidak bersalahnya, gak merasa ditunggu, yang jalan kaki tadi melengos tanpa mengatakan tidak kepada angkot tadi, tapi cuek aja berlalu membiarkan kemacetan panjang akibat sopir tadi menunggunya.
Memupuk kepedulian ini memang susah-susah gampang. Didasari oleh sifat sabar, kepedulian akan menjadi kebiasaan. Tanpa memedulikan orang lain, selama yang kita lakukan itu benar, ia akan menghasilkan bangsa yang harmoni. Semua saling menghargai, semua saling peduli dan turun tangan membantu kesulitan dan masalah yang ada.
Kita tidak bicara agama, suku, golongan di sini. Kepedulian itu datangnya dari HATI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H