Mohon tunggu...
Yemima Christiany
Yemima Christiany Mohon Tunggu... -

sebuah mawar kaca atau dandelion baja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Matirasa

29 Juli 2010   13:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:28 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hening …
Kupandangi langit yang kian mengontras itu di suatu kala rembang tengah hari
Surya mulai menarik dirinya perlahan ke dalam kantong cakrawala
Dirinya berada tidak jauh dariku saat itu, entahlah mungkin tidak berbeda denganku
Sedang mengagumi masa itu
Danau yang menghampar di jangkauan mata kami keemasan dan berkerlip gemilang
Sesekali beningnya berkecipak menyembul ke atas oleh lompatan-lompatan indah ikan-ikan emas bersirip mungil
Pada permukaannya yang datar seperti kaca itu terbentuklah gulir-gulir yang rapih oleh angsa-angsa putih yang berseluncur di atasnya, berkoak-koak girang bunyinya seperti terompet yang ada di nirwana
Sadarkah diriku sebetulnya ini bukan bagian dari mimpi-mimpi indah dalam tidurku? hanya aku sedang beruntung hari ini
Semua yang ada disekelilingku tampak bahagia
Semilir sajapun menggodaku, dengan genit membelai-belai wajahku, mencobai aku bisakah kali ini aku tidak tersenyum satu detik saja
Aku ingat betul waktuku kala itu seakan sedang berhenti sejenak
Memberi aku sedikit ruang untuk menghafalkan bau rambutnya yang lembab
Memperlambat detik-detik saat kutangkap hitam bola-bolanya, sehingga dapat aku nikmati setiap binar-binarnya
Kuhirup hangat yang menguap dari tubuhnya yang mulai lengket, hanya supaya aku ingat akan hari beruntungku ini
Aku memejamkan mataku

Hanya aku dan dirinya ...
Dia berbisik lembut di telingaku, dan dari ujung lidahnya menetes madu yang begitu manis dan kental yang lalu meresap ke dalamnya, menembus otakku yang senantiasa berdenyut
Sehingga bermula pada saat itu tidak ada sesuatupun yang pernah aku rasakan pahit dan getir
Ia bersenandung dengan cantik dan aroma mulutnya begitu legit pada pernafasanku
Ia mengecup-ngecup lembut bibirku dan seketika kurasakan manis, kutelan hingga kerongkongan dan sari-sarinya mungkin hanyut menjadi satu dengan tubuhku menjadi sumber kehidupanku
Ia mengecup punggung tanganku yang seketika basah oleh madunya, kemudian menjalar ke seluruh permukaan kulitku
Ia menjentikkan jemarinya di hitam rambutku yang tergerai dan membuatnya lengket oleh madu
Manis, legit, membuat aku melengket dan membuat aku melengket
Aku menjadi sarangnya, tempatnya mengadu, tempatnya berkeluh
Aku menjadi sarangnya, tempatnya bernyanyi, tempatnya berbagi
Aku menjadi sarangnya, tempatnya tertawa
Akupun tertawa
Aku menjadi sarangnya, tempatnya berbahagia
Akupun bahagia
Aku menjadi sarangnya, tempatnya bercerita, bercanda, merasa
Akupun menjadi gembira
Ia memelukku rapat dan basah kuyuplah aku oleh madu itu

Hening ...
Kupandangi langit kebiruan yang kian mengelam
Di sana bulan sudah membulat dan bintang-bintang bergemintang
Dirinya masih berada tidak terlalu jauh dariku, entahlah apa yang dirasakannya
Kulihat daun-daun termenung
Karena semilir sedang murung, diam di tempat dan enggan menyapa
Hanya sesekali berseliwer di depan wajahku, menantangi aku bisakah kali ini aku tersenyum satu detik saja
Sadarkah diriku sebetulnya ini bukan bagian dari mimpi-mimpi buruk dalam tidurku? hanya aku sedang tidak beruntung hari ini
Aku ingat betul kala itu bulan benar-benar membulat dan tampak begitu syahdu menghembuskan debu-debu yang hangat keemasan dari setiap permukaannya
Memberi aku sedikit ruang untuk merasa segan kepada purnama
Memberi aku sedikit segan pada bintang-bintang yang melambaikan juntai-juntai kerlipnya
Aku menangkap kedua hitam bola-bolanya dan tidak kudapati diriku di sana
Dirinya menangkap kedua hitam bola-bolaku dan tidak didapati dirinya di sana
Hitamnya memekat, mengeruh
Aku menyungging senyuman sinis

Hanya aku dan dirinya ...
Kami saling bertatapan dan termenung
Saling memandangi keruh, karena hanya keruh yang dapat terlihat
Sesekali kami saling membelai, dengan rabun kami membelai
Sesekali kami memeluk, dengan samar kami memeluk
Sesekali kami bercium-ciuman, dengan lesu kami mengecup
Ia hendak berbisik, dekat dengan telingaku
Namun, ahh ...
Ia mematuk
Bisanya masuk ke dalam telingaku dan aku menjadi tuli
Bisanya meresap ke dalam otakku dan aku menjadi buntu
Ia mematuk bibirku yang seketika kaku, menjadi kelulah lidahku
Bisanya menjangkiti seluruh tubuhku
Ia mematuk punggung tanganku dan bisanya menjalari nadi-nadiku
Darahku beku dan aku terpaku
Getir, sengit, membuat aku melumpuh dan membuat aku melumpuh
Aku menjadi mangsanya, tempatnya murka, tempatnya jengah
Aku menjadi mangsanya, tempatnya kecewa, tempatnya mendendam
Aku menjadi mangsanya, tempatnya mematuk
Akupun meringkuk
Aku menjadi mangsanya, tempatnya meludah
Akupun berdarah
Aku menjadi mangsanya, tempatnya putus asa, melampiaskan, meradang
Akupun menjadi berduka
Ia membelitku rapat dan susahlah aku bernafas

Hening ...
Aku menerawang kosong pada langit yang memerah, menjadi seperti darah
Kosong ...
Di sana kosong, tidak bulan tidak juga bintang
Mungkin hanya ada mega-mega kelabu berarak lamban
Dirinya berada entah tidak terlalu jauh, entah masih tidak terlalu jauh, entah jauh, entah sudah terlalu jauh, entah sangat jauh, entahlah ...
Sudah tidak bisa kuciptakan danau yang licin bak cermin dalam penglihatanku
Sudah tidak bisa kuciptakan ikan-ikan dan angsa-angsa yang cantik dalam penglihatanku
Sudah tidak bisa kuciptakan bulan dan bintang yang merona dalam penglihatanku
Sudah tidak bisa kuciptakan daun-daun, bahkan yang tengah termenung sekalipun dalam penglihatanku
Sudah tidak bisa kuciptakan pantulan dirinya dalam penglihatanku
Sudah tidak bisa kurasakan semilir di kulitku
Sudah tidak bisa kurasakan bau lembab rambutnya dengan penciumanku
Sudah tidak bisa kurasakan hangat yang menguap dari tubuhnya dengan penciumanku
Sudah tidak bisa kuciptakan ingatan dalam otakku
Sudah tidak bisa ...
Sudah tidak bisa ...
Sudah tidak bisa ...
Aku menjadi lupa

Hanya aku dan dirinya ...
Mungkin ...
Aku terduduk di atas kursi kayu, dan dirinya ada di hadapanku
Ia memandang jauh ke dalam hitam bola-bolaku
Aku terdiam
Ia membelai kulit wajahku
Aku diam
Ia memagut bibirku
Aku diam
Ia memelukku rapat
Aku diam
Ia meringik
Aku tetap saja diam
Ia berteriak
Ia meludah, memaki, mengacungkan jari tengah ke arah wajahku
Ia mengumpat, menampar, menendang tulang dan sendi-sendiku
Ia meradang ...
Ia menangis ...
Ia meradang ...
Ia menangis ...
Dan aku diam, tetap terdiam
Aku terus berdiam
Aku diam
Aku diam
Diam ...
Diam ...
Diam ...
Dan ia pun pergi ...

Surabaya, 17-04-09
01.26 am
Mima

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun