[caption id="attachment_415673" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi, Dokter (Shutterstock)"][/caption]
Pada masa kanak kanak saya, seringkali orangtua saya menakut nakuti dengan kalimat ini : " Hayoo.. makan yang banyak, kalau tidak, nanti disuntik sama Pak Dokter..."
Kalimat doktrinasi itu terngiang hingga saya beranjak dewasa. Waktu kecil memang saya susah untuk diajak makan. Kalau gak disuapin atau ditawari makan ya saya gak makan. Hehe.. Orangtua saya berhasil membuat saya mau makan dengan kalimat sakti diatas itu. Lalu, ada lagi modus yang dilakukan orangtua saya agar saya mau gosok gigi. Mereka selalu bilang : Ayo.. gosok gigi, kalau tidak akan dibawa ke dokter gigi dan giginya akan dicabut. Hahaahaaa... sungguh, itu membuat saya takut dan akhirnya rajin menggosok gigi meski sebenarnya gigi saya tuh reges alias jelek kualitasnya. Hihi.. Herannya mereka selalu memakai profesi dokter untuk menakut nakuti saya. Aya aya wae....
Profesi dokter sudah sangat populer dari dahulu kala hingga kini. Profesi bergensi mereka yang selalu berkaitan dengan nyawa pasien itulah yang mungkin membuat profesi itu sangat ngetop sepanjang masa. Banyak anekdot yang dibuat khusus untuk meledek profesi ini. Saya selalu berdecak kagum dan mengacungi 4 jempol untuk profesi ini. Betapa tidak, pendidikan yang harus mereka tempuh sangatlah sulit, terbilang lama dan memerlukan banyak biaya sehingga tidak semua orang bisa mencicipi sekolah kedokteran. Setelah lulus pun mereka tetap akan menghadapi masa sulit mencari tempat praktik. Sebelumnya, mereka harus mengurus perlengkapan administratif untuk legalisasi aktifitas medis mereka. Surat tanda registrasi dan surat ijin praktek menjadi wajib hukumnya harus dimiliki oleh dokter yang melakukan praktik . Tanpa surat surat itu lazimnya dokter tidak melakukan penanganan medis kepada pasien demi keamanan semua pihak. Jadi, dokter yang telah berhasil praktik adalah dokter yang telah melewati jalan panjang sejak masa pendidikan sampe pengurusan tetek bengek soal keabsahan secara hukum. Ketika dokter telah sah diperbolehkan praktik karena telah memenuhi persyaratan, dokter masih akan selalu menemukan masalah. Ya iyalaahh.. nama saja dokter, kan memang tugasnya membantu menyelesaikan atau minimal mengurangi masalah kesehatan pasien.
Dulu, ada paradigma umum di masyarakat yang menyatakan bahwa pasien lah yang membutuhkan dokter dan bukan sebaliknya. Berabad abad pemahaman itu berlaku di mana mana. Pasien seperti pasrah menerima nasibnya, menunggu dokter tiba tanpa bisa melakukan protes. Namun di era keterbukaan seperti sekarang ini, pasien kadang malah lebih galak dari dokternya. Hahaha... mungkin balas dendam ya! Galak artinya pasien sudah berani menyampaikan uneg unegnya tentang pelayanan yang diberikan para dokter. Contohnya di media sosial yang telah banyak memuat keluhan pasien tentang tindakan medis atau hal lain terkait profesi kedokteran. Meski demikian, seringkali pasien masih tetap mengalami kebuntuan saat berkomunikasi dengan dokter. Gaya berkomunikasi antara pasien yang selalu memposisikan diri sebagai orang awam dan dokter yang (oleh pasien) dianggap setengah dewa itulah yang memungkinan terciptanya gap. Contoh sederhananya baru saja saya alami kemarin. Baru baru ini adik saya hendak di operasi oleh dokter bedah. Dokter memberikan informasi seluk beluk rencana operasi. Saat operasi selesai, dokter kembali menjelaskan hasil operasinya. Namun ada beberapa pertanyaan yang masih mengganjal dan belum bisa diungkapkan oleh adik saya karena dokter bedahnya seperti tergesa gesa saat menjelaskan kepada pasien. Bahasa yang digunakan dokter pun seringkali adalah bahasa medis yang tinggi tinggi membuat pasien malah jadi tambah bingung. Pengalaman seperti adik saya yang agak sulit mendapatkan waktu untuk bisa berdiskusi dengan dokter banyak dialami oleh masyarakat kita. Dan lagi lagi tak berdaya...
Untuk menjawab rasa penasaran mengapa dokter irit bicara, saya sempat berdiskusi dengan seorang dokter bedah yang kebetulan adalah rekan saya. Beginilah kira kira resume diskusinya..
1. Tidak ada mata kuliah komunikasi di Fakultas Kedokteran
Dokter bedah rekan saya mengatakan bahwa saat dia belajar di Fakultas Kedokteran belum ada mata kuliah tentang komunikasi padahal materi ini sangatlah penting bagi para dokter. Lah wong sehari harinya pasti akan selalu berkomunikasi dengan pasien. Nah, mungkin saran untuk para petinggi yang bergelut di dunia pendidikan tinggi Indonesia adalah menambahkan mata kuliah komunikasi untuk para calon dokter agar dapat digunakan sebagai bekal saat berinteraksi dengan pasien pasiennya. Saya belum berinteraksi dengan dokter dokter yang baru saja lulus, siapa tahu mereka sudah menerima mata kuliah komunikasi.... hehe.. semoga...
2. Pola pikir tentang positioning antara Dokter dan Pasien
Seperti pada kalimat awal tulisan ini bahwa pada masa lalu hubungan dokter dan pasien bagaikan langit dan bumi. Posisi dokter yang seolah super power berhadapan dengan pasien yang sedang sakit, lemah dan memerlukan pertolongan. Gap yang terlalu jauh itu membuat komunikasi antara dokter dengan pasien tidak mesra dan harmonis. Hehe.. Pasien takut bertanya, dokter enggak bicara banyak. Klop!
Rekan saya itu bilang bahwa pasien juga punya andil dalam buntunya komunikasi, misalnya sudah dijelaskan dan diberikan kesempatan untuk bertanya tetapi tidak menggunakan kesempatan dengan baik. Saya pikir, mungkin pasien bingung juga mau tanya apa. Hehehee...serba salah.