Pengalaman di Ranah Minangkabau
Pengalaman penulis sendiri ketika bincang-bincang dengan pimpinan daerah, bahkan ada yang yang menjabat sebagai menteri, keduanya merupakan Niniak Mamak (Pengulu Adat) bergelar "Datuk" (Kepala Suku) dalam persukuannya masing-masing. Tapi ketika ngobrol walaupun berdua saja, payah kita berbahasa Minangkabau tapi beliau tintiang (tetap) juga berbahasa Indonesia-ria. Bagi saya ini sesuatu yang membuat "risih" sekaligus menggelikan hati. Dalam hati ada kesedihan "parah ini orang", berpendidikan tinggi tapi berusaha mengisolasi diri keluar dari budayanya.
Kalau sedang berpidato atau dalam pertemuan resmi boleh lah, itu bisa dimaklumi, ini kan ngobrol biasa berdua saja. Ternyata bukan penulis saja yang mengalaminya, sampai-sampai salah seorang pejabat tinggi negara tetangga berketurunan Minangkabau pernah bertanya; apo nan tajadi kapado urang awak kini ko mangko anggan bana baliau-baliau ko babahaso Minang kutiko batamu awak samo awak? (Apa yang kini terjadi kepada orang kita, mengapa beliau-beliau itu terkesan enggan sekali berbahasa daerah ketika bertemu sesama orang Minangkabau?)
Katanya lagi menambahkan; di kampuang pun kini namo anak-anak urang Minang lah ganjie-ganjie tadanga di talingo, dima lataknyo "Adat Bersendikan Syarak, Syarak Bersendikan Kitabullah" (ABS-SBK) kalau namo rang Minang pun ndak bernuansa Islami lai. Alah kebarat-baratan se sadonyo, nampaknyo alah tajua galeh kito mah! (Di kampung di Minangkabau sana pun sekarang nama-nama anak orang sekarang sudah aneh-aneh kedengarannya, di mana posisi ABS-SBK kalau nama orang Minangkabau pun tidak lagi bernuansa Islami? Sudah kebarat-baratan semua, sepertinya budaya kita sudah tergadai), katanya suatu ketika dengan senyum penuh makna.
Kira-kira demikianlah kondisi orang Minang sekarang. Penulis sendiri selama ini melihat perkembangan ini, merasa seperti "si bisu barasian, takana lai takecek an tido" (orang bisu lagi mimpi, ada teringat tapi tidak mampu menjelaskan), tidak tahu kepada siapa akan dikadukan permasalahan ini.
Mudah-mudahan artikel sederhana ini bisa menggungah hati orang-orang tertentu yang mempunyai kesadaran dan bisa membuat sebuah gerakan moral ke arah perbaikan. Kita perlu memikirkan sebuah langkah besar dengan sebuah komitmen demi sebuah perjuangan menyelamatkan masa depan sebuah generasi.
Intinya, bagaimana menimbulkan kesadaran di kalangan orang Minangkabau yang sudah melenceng keluar dari kebiasaan ini untuk kembali ke pangkal jalan, agar kembali mendidik anak-anak sesuai adat budaya orang Minangkabau, nan elok diambiak dan buruak dibuang (yang baik diambil, yang tidak baik ditinggalkan).
Untuk itu seyogianya pemerintah daerah, para wakil rakyat yang terhormat di Ranah Minangkabau harus segera bertindak, pribadi-pribadi tertentu yang berpengaruh di mana pun berada termasuk tentunya beliau-beliau yang memanggil dirinya sebagai budayawan Minangkabau itu harus melakukan sesuatu. Sesungguhnya penulis melihat ada bahaya besar terhadap keberadaan orang Minangkabau ke depan kalau hal ini tidak segera ditangani. (*)
*)Peminat masalah sosial, tinggal di Kuala Lumpur, Malaysia. Email: dirwan2005@hotmail.com
Tulisan ini diterbitkan oleh LKBN Antara, 30 Mei 2013
Pewarta : Dirwan Ahmad Darwis*
Editor: Antara Sumbar
COPYRIGHT ANTARA 2021