Mohon tunggu...
Dirmawan Hatta
Dirmawan Hatta Mohon Tunggu... profesional -

Pembuat film. Toilet Blues | Optatissimus | Kau dan Aku Cinta Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Demit dan Dandaka di Luar Peta NKRI (4)

26 Januari 2014   17:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:27 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di hutan belantara yang selayaknya Hutan Dandaka itu, semua tersedia. Bangsa-bangsa penghuninya sudah makmur lebih dulu, sebelum bangsa-bangsa asing atau baru yang datang kemudian mengajarkan hal-hal baru semacam pembangunan, kemajuan, atau konservasi sumber daya alam. Bagian terakhir dari catatan empat tulisan perjalanan menyusuri Sungai Sembakung, Kalimantan Timur.

Ketika Pak Abdullah dan Pak Ismail kembali, sejumlah udang sungai sebesar empat jari ada dalam ember-ember mereka. Dengan kecekatannya Pak Abdullah memeriksa ketel dan mencuci beras dengan air danau, lalu menanak nasi. Sembari menunggu nasi itu masak, ia membersihkan udang-udang dan ikan-ikan lais yang didapatnya kali itu. "Umpan habis, kita terlambat, ikan-ikan sudah lari!" katanya dengan wajar, tahu persis apa yang terjadi dan tidak menyesalinya. Aku memandangi ikan-ikan itu, rasanya lebih dari cukup untuk mengenyangkan perut kami berlima. Setelah ikan-ikan itu bersih, ia menyiapkan bumbu-bumbu. Garam dan bawang putih dan cabe. Cukup. Diirisnya kesemua itu dengan parang yang sama dengan yang digunakannya untuk menebang dahan, membabat semak, bahkan membunuh binatang buruan. Lalu dilemparkannya bumbu-bumbu itu ke dalam satu ketel lain, tempat ikan-ikan itu direbus.

Ketika pada akhirnya makanan siap, api unggun sudah mulai padam. Dan dalam dengingan nyamuk yang segera berdatangan, saya, Nova dan Anggi menyantap hidangan-hidangan itu, sementara mereka menunggu kami selesai sambil menyeruput kopi berseduh krim yang kami bawa tadi. Sesekali langit terang berkelebat ke arah hulu. Saya memandang kelebatan itu dengan cemas. Rasanya bukan saat yang tepat untuk menginap di Dandaka dalam keadaan hujan di hulu, sebab dengan segera tanah separuh-kering yang kami pijak akan terendam oleh luapan air sungai.

Setelah kami selesai makan, Pak Abdullah dan Pak Ismail segera mengambil gilirannya. Mereka makan dengan lahap, dan nasi di ketel yang demikian banyak habis dalam waktu tak terlalu lama. "Di sini enak, kita bebas, mau makan, padi ada, mau buah, tinggal ke kebun, mau ikan, merambat (istilah untuk mencari ikan di danau) kita di danau. Enak. Bebas. Cuma uang saja yang sulit di sini!" kata Pak Abdullah sembari meraup sisa nasi terakhir dengan telapak tangannya. Ya, uang memang sulit dan semakin banyak barang yang harus dibeli dengan uang, sementara hasil sumber daya alam di sekeliling mereka sulit untuk dijual, atau bukan mereka yang menjualnya. Tak jauh dari danau itu, hutan-hutan adat orang Agabag dibabat oleh perusahaan Jakarta dan dirubah menjadi hutan akasia, mungkin agar orang bisa menjual tisu toilet dengan harga yang murah nun jauh di sana, di kota atau belahan dunia lain, tempat orang menyusun gagasan tentang konservasi hanya untuk kemudian menyerahkannya pada perusahaan-perusahaan dengan eco labeling di kening mereka.

Ketika akhirnya kami kembali jam delapan malam itu, saya mencengkeram ketinting makin erat, sebab kali ini sungai benar-benar gelap gulita. Pak Ismail menyorotkan sinar senternya kesana kemari, sebelum tiba-tiba sebuah batang pohon raksasa menghadang kami. Mereka saling berteriak dalam bahasa Tidung. Ada kegugupan dalam suara mereka. Rupanya kami salah arah. Kami memutar dan mencari-cari arah selama beberapa menit dengan bantuan kelebatan bayangan pepohonan di bawah sorotan senter. Angin berhembus lembut, menyegarkan kami yang selama beberapa jam dikungkung kelembaban hutan yang gerah.

Merayap perlahan dalam gelap gulita, Nova menggamit bahu saya dan bertanya dengan suara hati-hati, seakan takut terdengar oleh entah apa atau siapa, "Cium bau melati, ga?". Saya menciumnya, tapi saya jawab tidak. Saya memang mencium bau bunga melati itu, dan saya tengah menikmati perasaan bahwa sungai ini indah, karena dalam gelap gulitapun dia masih memanjakan indera saya. Tapi dengan pertanyaan Nova itu, bulu kuduk saya meremang. Dan jelas saya berbohong karena saya ingin mengingkari prasangka Nova, bahwa lelembut tengah berada di sekitar kami. Apakah bulu kuduk meremang itu peristiwa biologis atau peristiwa kultural? Saya tidak tahu jawabnya. Tapi kalau bulu kuduk yang meremang itu berkaitan dengan tabiat, maka benar bahwa saya adalah orang Jawa dengan seluruh prasangkanya terhadap hutan Dandaka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun