Anjani (Shirley Anggraini) Â mempertanyakan arti menjadi perawan dan Anggalih (Tim Matindas) mempertanyakan arti menjadi orang saleh. Mereka minggat dan berkelana. Papa Anjani mengirim Ruben (Tio Pakusadewo) untuk membawanya pulang. Ketika Anjani tidak bisa mengelak, ia memanfaatkan tubuhnya untuk membebaskan diri. Sementara Anggalih terdampar di sebuah rumah pelacuran. TOILET BLUES adalah sebuah film drama tentang pemberontakan remaja, menggugat makna cinta, penebusan dan kebebasan, di bioskop mulai 3 Juli ini.
Ini adalah sebuah film 2 years in the making, dengan metode produksi yang sering disebut dengan indie, dan di luar dugaan saya sendiri, pada akhirnya telah mengedari festival-festival film di tujuh negara di dua benua sampai sejauh ini. Film ini dibuat oleh para pekerja yang kebanyakan adalah first timer; ini adalah film (panjang) pertama bagi saya sendiri, Edo Sitanggang (produser), Adam Herdanto (co-writer), Mayke Wongkar (penata kamera), Tim Matindas (pemain utama laki-laki), Shirley Anggraini (pemain utama perempuan), Soni (penata artistik), Yosi Adiprana (penyunting gambar) dan Doni H. Himawan (colorist). Dan apa yang menarik untuk mengalami sesuatu yang pertama?
Banyak. Dan pertama sekali adalah pembelajaran untuk menggeluti sebuah bidang kesenian sebagai sebuah laku kolegialitas. Film ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari sekeliling, dari teman-teman, atau temannya teman-teman. Toilet Blues adalah sebuah karya bersama.
Kedua, kolegialitas ini pada akhirnya sebuah upaya untuk menerima kontribusi dari berbagai pihak yang terlibat di dalamnya, dalam berbagai macam bentuknya, untuk kemudian mengolahnya bersama-sama. Bila sering kita dengar sebuah adagium bahwa seniman adalah para egois yang bersikeras pada gagasannya, maka pertanyaannya adalah bagaimana ego-ego ini dapat diorganisir untuk sebuah tujuan bersama?
Ketiga, mengorganisir ide yang berbeda-beda membawa kami pada sebuah kenyataan, bahwa sesungguhnya Toilet Blues telah menjadi ruang eksperimentasi kreatif. Naskah bergerak sepanjang jalan sebagaimana plot yang termaktub di dalamnya, editing menghasilkan berbagai versi yang menuntut untuk segera dipilih, aspek-aspek auditif memberi kami peluang baru, lokasi dan set baru bermunculan seiring dengan perubahan-perubahan di wilayah kreatif lain, dan pada akhirnya, dan bahkan, judul pun baru bisa ditentukan pada ujung proses.
Keempat, ketika pada akhirnya seluruh proses itu menghasilkan sebuah film berjudul Toilet Blues, seluruh eksperimentasi itu toh pada akhirnya harus disampaikan kepada penontonnya. Pertanyaannya, bagaimana cara memperkenalkan sebuah karya yang jelas-jelas asing bentuk dan langgamnya, di tengah kepastian-kepastian karya lain yang dibuat dengan disiplin industrial lain, dengan anggaran puluhan, ratusan, ribuan kali dari yang kamu punya?
Seringkali, hal-hal demikian mendatangkan rasa jerih. Tapi juga pada saat yang sama, menjalani sesuatu sebagai yang pertama bagi kami sendiri mendatangkan kegairahan tersendiri. Pada akhirnya, bukan rasa menjadi martir melawan Goliath yang memberikan kekuatan, akan tetapi keriangan akan eksperimentasi, penemuan, dan di atas semua itu: penciptaan.
Dengan itu semua, kami tidak yakin bahwa Toilet Blues sebagai sebuah karya orisinil, akan tetapi kami cukup yakin untuk mengatakan bahwa Toilet Blues adalah sebuah karya yang otentik.
Toilet Blues rilis pertama kali (world premiere) di Kompetisi Utama Busan International Film Festival bulan Oktober tahun lalu, yang disebut sebagai New Currents, dan merupakan perhelatan utama dari salah satu festival film terbesar di Asia tersebut, terpilih dari sekian ratus film lain yang berdatangan dari seluruh pelosok Asia. Kami tidak memenangkan apa-apa, akan tetapi, pengakuan bahwa film tersebut layak untuk berkompetisi di sana memberi pandangan yang lebih luas pada cakrawala kami, terutama pada sebuah pertanyaan yang mengemuka akhir-akhir ini: apakah makna menjadi bagian dari bangsa-bangsa Asia dewasa ini, ketika dunia global sudah sampai di kolong ranjang kita, identitas kita makin kabur dihapus penyeragaman, dan makin hari anak-anak kita makin menjadi konsumen yang taklid pada pasar?
Di awal hari ketika pada akhirnya Toilet Blues sampai di hadapan umum penonton film di Indonesia, di akhir dari proses berkarya sepanjang hampir tiga tahun ini, disadari bahwa Toilet Blues tidak hanya sebuah drama pemberontakan remaja yang minggat dari rumah dan asrama mereka, akan tetapi upaya untuk menemukan cara ucap baru yang sanggup merawat otentisitas. Sebuah upaya untuk minggat mencari ruang-ruang jelajah baru serta menemukan kembali keberbagaian. Dan sungguh, ini bukan sesuatu yang orisinil, tapi kami mengupayakan hal yang lebih penting dari itu: menjadi otentik.
Untuk penelusuran lebih jauh, sila kunjungi www.toiletblues.com