Sambil menunggu tahun yang ke-dua puluh, langkah ku tiba-tiba terhenti di tengah jalan. Pikiran ku tak mampu menahan serutnya semak belukar jalan yang aku titih untuk meraih asa ini. Aku sudah tak kaget dengan kegagalan, tapi gagal kali ini bukanlah yang biasa, ia adalah hal terburuk dalam catatan hidupku dua puluh tahun belakangan ini.
Aku pontang-panting belajar soal Ujian Mandiri UGM demi cita-cita menjadi Arsitek, namun hancur karena orang tua yang tidak mampu membiayai uang kuliah, bahkan uang orientasi untuk membeli jas almamater-pun aku bayar sendiri dengan berjualan souvenir di dekat Borobudur.Â
Aku juga sempat terpelosok jurang hitam, bergabung dengan banyaknya sindikat mafia narkoba di pulau Jawa, melamar pekerjaan menjadi rentenir dan sempat tertipu iklan pekerjaan di Jakarta, semuanya menguras tenaga, tapi aku berusaha menjalaninya dengan asa, asa untuk menjadi makluk Tuhan yang tinggi dengan sederet gelar di belakang namanya.
Tapi satu hal yang tiba-tiba teringat. Aku sosok yang cerdas, nilai ku mungkin tak jauh lebih tinggi dibandingkan insan yang lain, aku seringkali gagal saat ujian di sekolah, tapi aku tak pernah bosan untuk mendengar guru manapun berbicara di depan kelas, aku adalah penyimak yang baik, juga murid yang taat.Â
Aku juga teringat bagaimana temanku, Yusuf, menyodorkan hafalan qur'annya yang dua juz al-qur'an lancar tanpa salah di depan ustadz halaqoh, ia dipuji bak dewa, tapi aku, jangankan menghafal satu juz, satu lembar qur'an saja rasanya otak ku ingin pecah.Â
Aku berbaring di trotoar Klaten, saat itu masih ku pegang jualan souvenir yang sisa tadi siang, menggenggam uang dua ribuan yang lebih terasa seperti uang mainan. Bapak di kampung hanya berujar lirih bahwa anak laki-laki harus kuat, hidup di perantauan harus tahan banting. Aku tak punya alasan mundur, tapi maju pun aku tak tahu bagaimana cara-nya.
Hari pengumuman kelulusan UGM, aku di peringkat ke 10 dari 2000 pelamar, akhirnya semuanya terbalaskan. Mak, kelak yakinlajh empat tahun lagi anak mu akan menjadi arsitek besar di negeri ini. Tapi kandar, harus ada biaya semester, sebagai anak rantau, aku yakin bahwa semua pasti bisa aku lalui, biaya semester sekitar 8 jutaan, termaksud biaya yang rendah bagi mahasiswa jurusan teknik di universitas terbaik di Indonesia.
Tapi aku bukannya orang pelit, benar-benar bingung harus ngomong apa aku kepada bapak dan emak, keduanya pasti berfikir menjual tanah, atau mungkin rumah bila kuceritakan besarnya biaya semester disini.
Aku mengusap tangis, haru memang, berhasil lolos di universitas dambaan orang se-Indonesia memang prestasi yang harus diancung jempol, tapi apakah tidak sakit melihat langkah yang harus berhenti atau melangkah entah ke mana ini?Â
Tak ku ambil pusing, aku cari informasi-informasi beasiswa di UGM, masih ada jalan, toh walaupun aku nakal namun shalat lima waktu tak pernah aku tinggal. Alhamdulillah, ada beasiswa untuk mahasiswa dari daerah tertinggal. Barokah anak soleh, langsung ku urus semua surat, mulai dari surat berprestasi, ku kumpulkan piagam demi piagam lomba dulu, juga surat keterangan sekolah, akte kelahiran, KK dan macam-macam lah namanya.
Tinggal satu surat, masih ku ingat betul. "Surat Keterangan dari Bupati atau Pemerintah Terkait Bahwa yang Bersangkutan Adalah Warga Daerah Tujuan Beasiswa 3M." ku kirimkan surat dengan penuh rasa belas kasih kepada pak bupati, aku tak ingat tanggalnya, tapi itu di bulan Juli 2019.Â
Tuhan baik kepada kita yakin ku, toh bupati juga hamba-nya Tuhan, tak mungkin Tuhan tak ketuk hatinya untuk menolong anak yang malang ini. Tapi naas dikata, tujuh hari surat tak terbalas, aku kirim tiga surat lagi, kepada Pemda, kepada Bupati, kepada Dinas Pendidikan Musi Rawas. Semuanya, tujuh hari tak terbalas, pusing lah aku, apakah ini cara Tuhan mengutukku.Â
Pendaftaran tutup empat hari lagi, kesempatan terakhir anak desa ini untuk menggapai asanya, aku tulis tiga surat lagi, masih ke tujuan yang sama. Qadratullah, masih tak terbalas.Â
Hamba mu Tuhan, harus lah aku hengkang dari Jogjakarta, tak ada harapan lagi bagi-ku meneruskan mimpi menjadi Arsitek soleh terbaik di negeri ini, Tuhan sedang kejam padaku saat itu. Hingga tulisan ini kutulis, aku sudah berada di Prancis, mungkin tidak sebagai seorang arsitek, namun sebagai mahasiswa politik.Â
Bila Allah mengasih kesempatan bertemu, ingin aku tanya keberadaan surat yang ku kirim kemaren kepada hamba-hamba tuhan ini, namun aku sudah tahu jawabannya. Emang siapa aku, emang siapa dia dan emang siapa Tuhan. Semuanya silahkan direnungkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H