Mohon tunggu...
Mahendra Dilegant
Mahendra Dilegant Mohon Tunggu... Mahasiswa - Cerpenis, Catatan Perjalanan dan Filosofis Esai.

Membebaskan diri dari segala belenggu duniawi dengan menulis. Menyukai kebebasan tulisan yang mengandung sarkasme dan liberal.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Bapak! Anakmu Jadi Arsitek Sekarang!

29 Oktober 2022   20:16 Diperbarui: 29 Oktober 2022   20:27 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sambil menunggu tahun yang ke-dua puluh, langkah ku tiba-tiba terhenti di tengah jalan. Pikiran ku tak mampu menahan serutnya semak belukar jalan yang aku titih untuk meraih asa ini. Aku sudah tak kaget dengan kegagalan, tapi gagal kali ini bukanlah yang biasa, ia adalah hal terburuk dalam catatan hidupku dua puluh tahun belakangan ini.

Aku pontang-panting belajar soal Ujian Mandiri UGM demi cita-cita menjadi Arsitek, namun hancur karena orang tua yang tidak mampu membiayai uang kuliah, bahkan uang orientasi untuk membeli jas almamater-pun aku bayar sendiri dengan berjualan souvenir di dekat Borobudur. 

Aku juga sempat terpelosok jurang hitam, bergabung dengan banyaknya sindikat mafia narkoba di pulau Jawa, melamar pekerjaan menjadi rentenir dan sempat tertipu iklan pekerjaan di Jakarta, semuanya menguras tenaga, tapi aku berusaha menjalaninya dengan asa, asa untuk menjadi makluk Tuhan yang tinggi dengan sederet gelar di belakang namanya.

Tapi satu hal yang tiba-tiba teringat. Aku sosok yang cerdas, nilai ku mungkin tak jauh lebih tinggi dibandingkan insan yang lain, aku seringkali gagal saat ujian di sekolah, tapi aku tak pernah bosan untuk mendengar guru manapun berbicara di depan kelas, aku adalah penyimak yang baik, juga murid yang taat. 

Aku juga teringat bagaimana temanku, Yusuf, menyodorkan hafalan qur'annya yang dua juz al-qur'an lancar tanpa salah di depan ustadz halaqoh, ia dipuji bak dewa, tapi aku, jangankan menghafal satu juz, satu lembar qur'an saja rasanya otak ku ingin pecah. 

Aku berbaring di trotoar Klaten, saat itu masih ku pegang jualan souvenir yang sisa tadi siang, menggenggam uang dua ribuan yang lebih terasa seperti uang mainan. Bapak di kampung hanya berujar lirih bahwa anak laki-laki harus kuat, hidup di perantauan harus tahan banting. Aku tak punya alasan mundur, tapi maju pun aku tak tahu bagaimana cara-nya.

Hari pengumuman kelulusan UGM, aku di peringkat ke 10 dari 2000 pelamar, akhirnya semuanya terbalaskan. Mak, kelak yakinlajh empat tahun lagi anak mu akan menjadi arsitek besar di negeri ini. Tapi kandar, harus ada biaya semester, sebagai anak rantau, aku yakin bahwa semua pasti bisa aku lalui, biaya semester sekitar 8 jutaan, termaksud biaya yang rendah bagi mahasiswa jurusan teknik di universitas terbaik di Indonesia.

Tapi aku bukannya orang pelit, benar-benar bingung harus ngomong apa aku kepada bapak dan emak, keduanya pasti berfikir menjual tanah, atau mungkin rumah bila kuceritakan besarnya biaya semester disini.

Aku mengusap tangis, haru memang, berhasil lolos di universitas dambaan orang se-Indonesia memang prestasi yang harus diancung jempol, tapi apakah tidak sakit melihat langkah yang harus berhenti atau melangkah entah ke mana ini? 

Tak ku ambil pusing, aku cari informasi-informasi beasiswa di UGM, masih ada jalan, toh walaupun aku nakal namun shalat lima waktu tak pernah aku tinggal. Alhamdulillah, ada beasiswa untuk mahasiswa dari daerah tertinggal. Barokah anak soleh, langsung ku urus semua surat, mulai dari surat berprestasi, ku kumpulkan piagam demi piagam lomba dulu, juga surat keterangan sekolah, akte kelahiran, KK dan macam-macam lah namanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun