Mohon tunggu...
Dirham Rizaldi
Dirham Rizaldi Mohon Tunggu... -

Selain diKompasiana, tulisan saya terdapat pula di Longlifemagz.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Jujur Bersama Jason Ranti

25 Agustus 2017   22:57 Diperbarui: 26 Agustus 2017   00:51 6452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adalah ia berambut panjang sebahu. Adalah ia wajahnya ditumbuhi kumis dan jenggot yang lumayan lebat itu. Adalah ia sendiri dipanggung dengan harmonika dimulut dan gitar ditangan. Adalah ia memainkan musik folk, Blues kadang ballads dengan suara lengking yang selalu terngiang. Adalah selebihnya ia sederhana, slengean, kritis nan Jujur dalam setiap lirik yang dinyanyikan.

Semarang - Jason Ranti, solois yang mulai marak dibicarakan belakangan ini di-scenemusik Indonesia, mendarat juga di Semarang. Tidak dipungkiri memang di Semarang ia belum terlalu familiardibandingkan dengan Bandung dan Jakarta. Namun tak apa, ia tetap adil. Penampilannya selalu maksimal, memukau dengan kesederhaan, kejujuran lagu dan liriknya.

Bicara tentang Jason Ranti -Jeje-, maka sungguh naf bila tidak menyinggung Iwan Fals, pemusik senior, terkenal kritis dalam baitnya. Tampak beberapa kemiripan bila kita ingin melebihkan. Iwan fals bermain gitar dan harmonika, begitupun Jason Ranti jua. Iwan mahir dalam skill folk, Blues,dan ballads, Jason pun tidak kalah. Iwan kritis dalam bait lagunya, Jason pun menyamainya.

Jason tetaplah Jason, Iwan pun begitu, bukan seperti pribahasa "bagai pinang dibelah dua". Karena memang pada dasarnya ia tak mau disamakan dengan Iwan. Lihat saja, Jason tampil solois, Iwan dengan format band. Jason jalan disceane indie, Iwan di-mayor label. Terlebih Jason lebih ketema realitas sosial yang sedang viral sekarang ini, Iwan dalam lirik lebih komplek dan krtis lagi.

Namun jangan langsung di judge saya ingin membandingkan, sungguh tiada maksud! Karena memang mereka dilahirkan digenerasi yang tidak sama, terlebih fenomena realitas keadaan, politik, sosial, maupun lingkungannya berbeda juga.

Waktu menunjukan pukul 9.30 malam, kurang lebih tepatnya kalau tidak salah. Yang jelas setelah performance dari Figura Renata -duo folk asal Semarang- ia mulai prepare on stage. Maklum kala itu saya sedang menikmati malam, mencicipi buah tangan yang disuguhkan oleh beberapa kawan, jadi mohon dimaafkan. Yang jelas ketika MC mulai mengaba-aba sedikit lagi giliran Jeje perform, saya langsung bersiap dan berjalan mendekati stage.

Sampai akhirnya MC benar-benar mempersilahkan Jason Ranti untuk on stage, maka lekas dimulailah. Tanpa banyak basa-basi lagu pertama dimainkan, Stephanie Anak Senie.Opening disambut dengan suara harmonic harmonika. Beatsarat blues, ballads kian membuat saya menggoyangkan kepala mengikuti, terhipnotis menikmati .

Sering kali terlihat penonton terkekeh merespon lirik yang terkandung dalam bait. Lihat saja saat Jeje dengan lantang menyanyikan bait, "Mobil lewat, tronton lewat, Presiden lewat, Prabowo lewat, FPI lewat, MUI lewat",dengan lepas dan lantangnya. Padahal dibelakang stage venue ada kantor partai Gerindra dan pemenangan pilpres Prabowo kala 2014 lalu.

Stephanie Anak Senie ialah salah satu kejujuran Jeje kala menggambarkan realitas anak muda yang bergelut didunia seni, atau mungkin pula untuk semua anak muda. Walau tidak bisa dibenarkan secara universal, tetapi tersentil dibeberapa orang yang tutut melakukan.

Lihat saja kritik yang terkandung dalam bait "Stephanie resah hobinya resah, Segala cara pernah ia coba, Coba pantai, coba santai, coba tobat, coba obat, Segala obat pernah ia coba".Seperti ia sedang menyindir, atau sekiranya ia sedang bertutur personal seseorang, yang jelas ia sangat jujur dalam menyampaikannya.

Lanjut lagu kedua, Kafir. Seolah menyiratkan ia ingin selalu bernyanyi, tanpa banyak basa-basi ia melakukannya lagi. Dimulai dengan petikan gitar, menghantarkan Kafir untuk dipersembahkan. Terhipnotis dengan sadar penonton dibuatnya, seolah menyetujui sing along bersama. Makin tiba di refrain makin lantang dinyanyikan bersama "Hei ia katakan, hei Kafir sedang apa kau mondar-mandir, hei Kafir jangan ajak ku beli bir".

Selangnya beat kembali diturunkan, seolah penonton dibuat untuk merefleksikan diri sejenak lewat lagu berikut, Variasi Pink. Gitar mulai dipetikan sesuai ketukan kaki yang dihentakan Jeje pelan. Mulai dimainkan, Jeje lagi-lagi berhasil membuat penonton merespon dengan senyuman, terkadang tertawa malu terpancar dibalik cahaya lighting venue. Ya, Variasi Pink merepresentasikan curhatan seorang pria yang lama menunggu pasangannya berdandan, kadang merasa bosan dan bertanya untuk apa berdandan memakai gincu -lipstick- dibibir padahal tak ada yang mewajibkan.

Terdengar suara penonton yang ikut berdendang sembari menyanyikan beberapa bait yang dihafal. "Terjadi lagi malaikatku, terlambat datang, kebanyakan dandan wajahnya mustahil telanjang. Berjam-jam didepan kaca, amat dimuka. Ia yakin penting, bibirnya rasa stowbery", kala penonton bernyanyi dengan Jason bagian bait awal lagu.

Diluar performance-nya, beberapa kali terlihat Jeje saling berinteraksi dengan penonton. Entah bergurau, kadang ia bercakap. Entah ia berujar mengapresiasi minuman Congyang -anggur merah khas Semarang-, sampai bercanda kala smoke gun dipanggung menutupi seluruh mukanya, ia pun berujar "wah asap neraka ni kayanya". Cairlah suasana dibuatnya.

Tiba jua pada lagu Kafir. Lagu yang sudah ditunggu oleh penonton, yang bertingkah kegirangan kala Jeje mempersembahkannya sebagai songlist berikutnya. Tempo kembali sedikit dinaikan, gitar kembali dimainkan ala fingerstyle.Sing alongmakin terasa terdengar, dan makin terdengar kala tiba di-refrain, "Hey ia katakan, Hei Kafir mengapa kau sembah Pevita Pearce, Hey Kafir sudah waktunya engkau berfikir, Hey Kafir ini panggilan yang terakhir"

Mendengar lagu Kafir, mengembalikan ingatan saya seolah sekelebat pergi menaiki mesin waktu ke tahun 2014, kala Pilpres, kala Pilgub Jakarta. Konflik SARA -Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan-, terkhusus agama, rawan sekali pada masa itu. Seolah kaum mayoritas yang dikonfrontasi oleh sekelompok -ormas agama- dengan mudahnya menstigmanisasi orang dengan label Kafir, terlebih ada unsur politik. Asal ia beda agama, beda pemikiran dengan sekelompok itu -ormas agama- maka bersiaplah untuk dicap Kafir, bilamana sedang apes-apesnya. Alah maaf agak melantur pembahasannya, namun itu yang terfikir dibenak saya pada saat itu.

Hingga sampai diakhir pertemuan, ia menutupnya dengan doa. Doa bukan sekedar doa. Doa Jeje sarat akan nuansa blues, ballads lengkap dengan penuturan freestyle handal, dan suara harmonika yang kian melengking terdengar dalam satu kesatuan tajuk, Doa Sejuta Umat.

Permohonan doa ia haturkan kepada Tuhan dalam nyanyian, mulai dari memohon untuk dijaga agar tidak dijahati oleh oknum maupun hukum yang sewenangan, dari security yang penuh teror, dari ibu-ibu lembaga sensor, dari lawan jenis yang parasit, dari penjahat kelamin, dari nabi-nabi palsu, sampai pada logika yang menyimpang. Mendengarnya, bagai mengamini penonton pun turut bernyanyi seolah berdoa dalam lubuk hati.

Malam penuh khidmat memang benar adanya terjadi. Benar tampaknya, semakin kecil panggung, semakin dekat artis dengan penonton, semakin khidmat pula kebersamaan itu. Sayang seribu sayang, tibalah untuk berpisah. Jeje sudah turun dari stage sedari Doa ia haturkan tadi. Satu kesan yang masih melekat dalam ingatan saya. Jeje adalah orang jujur. Bernyanyi untuk bertutur tentang apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, dan ia rasa. Output yang indah, bila saya harus jujur mengenangnya.

Bagi yang belum tau  Jason Ranti, bila ingin mendengar lagunya, bisa kunjungi official youtubenya. Silahkan


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun