Selangnya beat kembali diturunkan, seolah penonton dibuat untuk merefleksikan diri sejenak lewat lagu berikut, Variasi Pink. Gitar mulai dipetikan sesuai ketukan kaki yang dihentakan Jeje pelan. Mulai dimainkan, Jeje lagi-lagi berhasil membuat penonton merespon dengan senyuman, terkadang tertawa malu terpancar dibalik cahaya lighting venue. Ya, Variasi Pink merepresentasikan curhatan seorang pria yang lama menunggu pasangannya berdandan, kadang merasa bosan dan bertanya untuk apa berdandan memakai gincu -lipstick- dibibir padahal tak ada yang mewajibkan.
Terdengar suara penonton yang ikut berdendang sembari menyanyikan beberapa bait yang dihafal. "Terjadi lagi malaikatku, terlambat datang, kebanyakan dandan wajahnya mustahil telanjang. Berjam-jam didepan kaca, amat dimuka. Ia yakin penting, bibirnya rasa stowbery", kala penonton bernyanyi dengan Jason bagian bait awal lagu.
Diluar performance-nya, beberapa kali terlihat Jeje saling berinteraksi dengan penonton. Entah bergurau, kadang ia bercakap. Entah ia berujar mengapresiasi minuman Congyang -anggur merah khas Semarang-, sampai bercanda kala smoke gun dipanggung menutupi seluruh mukanya, ia pun berujar "wah asap neraka ni kayanya". Cairlah suasana dibuatnya.
Tiba jua pada lagu Kafir. Lagu yang sudah ditunggu oleh penonton, yang bertingkah kegirangan kala Jeje mempersembahkannya sebagai songlist berikutnya. Tempo kembali sedikit dinaikan, gitar kembali dimainkan ala fingerstyle.Sing alongmakin terasa terdengar, dan makin terdengar kala tiba di-refrain, "Hey ia katakan, Hei Kafir mengapa kau sembah Pevita Pearce, Hey Kafir sudah waktunya engkau berfikir, Hey Kafir ini panggilan yang terakhir"
Mendengar lagu Kafir, mengembalikan ingatan saya seolah sekelebat pergi menaiki mesin waktu ke tahun 2014, kala Pilpres, kala Pilgub Jakarta. Konflik SARA -Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan-, terkhusus agama, rawan sekali pada masa itu. Seolah kaum mayoritas yang dikonfrontasi oleh sekelompok -ormas agama- dengan mudahnya menstigmanisasi orang dengan label Kafir, terlebih ada unsur politik. Asal ia beda agama, beda pemikiran dengan sekelompok itu -ormas agama- maka bersiaplah untuk dicap Kafir, bilamana sedang apes-apesnya. Alah maaf agak melantur pembahasannya, namun itu yang terfikir dibenak saya pada saat itu.
Hingga sampai diakhir pertemuan, ia menutupnya dengan doa. Doa bukan sekedar doa. Doa Jeje sarat akan nuansa blues, ballads lengkap dengan penuturan freestyle handal, dan suara harmonika yang kian melengking terdengar dalam satu kesatuan tajuk, Doa Sejuta Umat.
Permohonan doa ia haturkan kepada Tuhan dalam nyanyian, mulai dari memohon untuk dijaga agar tidak dijahati oleh oknum maupun hukum yang sewenangan, dari security yang penuh teror, dari ibu-ibu lembaga sensor, dari lawan jenis yang parasit, dari penjahat kelamin, dari nabi-nabi palsu, sampai pada logika yang menyimpang. Mendengarnya, bagai mengamini penonton pun turut bernyanyi seolah berdoa dalam lubuk hati.
Malam penuh khidmat memang benar adanya terjadi. Benar tampaknya, semakin kecil panggung, semakin dekat artis dengan penonton, semakin khidmat pula kebersamaan itu. Sayang seribu sayang, tibalah untuk berpisah. Jeje sudah turun dari stage sedari Doa ia haturkan tadi. Satu kesan yang masih melekat dalam ingatan saya. Jeje adalah orang jujur. Bernyanyi untuk bertutur tentang apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, dan ia rasa. Output yang indah, bila saya harus jujur mengenangnya.
Bagi yang belum tau  Jason Ranti, bila ingin mendengar lagunya, bisa kunjungi official youtubenya. Silahkan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H