Mohon tunggu...
dirganca
dirganca Mohon Tunggu... Wiraswasta - Individualist Anarchism

Humanitarian | Community Development | Social Worker

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan atau Mesin Cetak Buruh: Sebuah Kritik atas Sistem yang Merampas Kebebasan

13 Januari 2025   13:54 Diperbarui: 13 Januari 2025   22:07 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendidikan sebagai mesin pencetak buruh (Artificial Intelligence; Illustrator)

"Tulisan ini terinspirasi setelah mendengarkan podcast Makna Talks dengan Narasumber Anies Baswedan." (https://youtu.be/CitMfsS74OY?si=2KU_Wcj0PbOCuVxA)

Pendidikan hari ini, terutama di negeri ini, sudah kehilangan rohnya. Ia yang seharusnya menjadi ruang untuk memerdekakan manusia kini berubah menjadi alat produksi. Sistem yang katanya dibuat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa malah mencetak individu-individu yang tunduk pada logika pasar. Apa hasilnya? Generasi yang dilatih jadi pekerja, bukan pemikir. Generasi yang patuh, bukan bebas.

Menteri Ketenagakerjaan mengatakan bahwa sekitar 63% pekerja di Indonesia bekerja di sektor yang tidak sesuai dengan bidang studi mereka (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3620313/63-orang-indonesia-bekerja-tak-sesuai-jurusan). Artinya, pendidikan kita tidak menghasilkan individu yang siap berpikir kritis atau adaptif, melainkan sekadar menyiapkan tenaga kerja yang bisa masuk ke sistem produksi dengan cepat. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana untuk membebaskan manusia kini malah menjadi alat untuk mengekang potensi mereka dalam lingkaran ekonomi yang sempit.

Seperti yang disampaikan Anies Baswedan dalam sebuah podcast, pendidikan kita telah berubah menjadi semacam pabrik, tempat manusia diproses untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Manusia dipandang sebagai sumber daya, bukan makhluk dengan potensi tak terbatas. Begitu masuk sekolah, anak-anak langsung dijejali hafalan, nilai ujian, dan keterampilan teknis yang katanya "dibutuhkan pasar." Kreativitas? Pemikiran kritis? Ah, itu dianggap barang mewah yang nggak relevan.

Masalah ini juga tercermin dari bagaimana keberhasilan pendidikan diukur saat ini. Tolok ukur utamanya adalah seberapa banyak lulusan yang bisa terserap di pasar kerja. Statistik menjadi segalanya: angka partisipasi sekolah, jumlah lulusan, dan persentase serapan tenaga kerja. Namun, di mana ruang untuk mengukur apakah pendidikan itu telah berhasil mencetak manusia yang berpikir kritis, memiliki empati, atau mampu menghadapi tantangan global dengan kreativitas? Sistem ini sibuk memuaskan permintaan industri tanpa benar-benar memperhatikan kualitas individu yang dihasilkan.

Sistem ini sebenarnya nggak netral. Ia didesain untuk melayani kapitalisme. Sekolah dan kampus jadi alat untuk mencetak tenaga kerja murah, sesuai pesanan pasar global. Anak-anak diajari sejak kecil untuk tunduk pada aturan, patuh pada otoritas, dan mengorbankan kebebasan berpikir demi "masa depan yang cerah." Kurikulum sering kali berubah mengikuti kebutuhan industri, seolah hidup manusia hanya bernilai sejauh dia bisa memenuhi permintaan ekonomi.

Dan ini semua terjadi di tengah kesenjangan yang menyakitkan. Data menunjukkan bahwa tingkat partisipasi sekolah di wilayah perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Sekolah-sekolah di kota besar berlomba memamerkan fasilitas mewah, sementara di desa terpencil, akses pendidikan dasar saja masih jadi mimpi. Anak-anak kaya dipersiapkan untuk jadi elite, sementara anak-anak miskin dipaksa puas dengan sistem yang mengajarkan mereka jadi pekerja patuh. Pendidikan yang seharusnya menyatukan malah makin mempertegas ketimpangan.

Kalau kita bicara soal pendidikan yang memerdekakan, nama Ki Hajar Dewantara sering muncul. Beliau percaya bahwa pendidikan adalah cara untuk membentuk manusia yang merdeka --- merdeka secara pikiran, perasaan, dan kehendak. Tapi lihat realitas sekarang. Pendidikan kita malah menjadi alat penjajahan baru. Penjajahan atas pikiran, di mana kebebasan berpikir dikorbankan demi mengejar angka-angka yang kosong maknanya.

Pertanyaannya: apakah kesuksesan pendidikan hanya diukur dari seberapa banyak sekolah menghasilkan tenaga kerja? Jika iya, maka kita telah gagal memahami hakikat pendidikan. Pendidikan bukanlah tentang mencetak buruh untuk pasar, melainkan membentuk manusia yang berpikir kritis, kreatif, dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Namun, kenyataannya, sistem kita tidak mendukung hal itu.

Pada akhirnya, pendidikan di Indonesia berada di persimpangan jalan. Apakah ia akan terus menjadi alat produksi yang melayani sistem, atau kembali menjadi ruang pembebasan dan pembentukan manusia utuh? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin berbeda bagi setiap orang. Ada yang melihatnya sebagai peluang untuk melawan sistem yang ada, ada pula yang memilih menerima kenyataan ini sebagai kompromi tak terelakkan. Yang jelas, diskusi tentang pendidikan tidak akan pernah selesai, karena ia adalah refleksi dari cita-cita sebuah bangsa dan bagaimana kita memandang manusia itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun