Mohon tunggu...
Dirga Maulana
Dirga Maulana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Selalu berpikir, kemudian bergerak, selanjutnya bermanfaat. sedang asyik meneliti media

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Semu Partai Politik

29 Juli 2013   19:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:52 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik Semu Partai Politik

Oleh Dirga Maulana

Peneliti di The Political Literacy Institute

Lihat ke jendela demokrasi yang dibanggakan itu. Di mana persaingan diatur oleh hukum. Lawan politik bisa hidup bersama dalam kemunafikan. Kesengsaraan rakyat menjadi hal lumrah dipandang. Lalu apa yang harus dibanggakan bagi negara yang menganut sistem demokrasi? Namun tak hanya demokrasi yang bermasalah melainkan sistem non-demokratis pun kerapkali mengalami masalah.

Nampaknya teori-teori mapan telah banyak mengambil resiko. Sistem otoriter telah merenggut banyak nyawa, dalam sistem demokrasi kita banyak melihat pemandangan yang tidak setara. Jangan-jangan inilah sebuah konsekuensi dari berbagai pilihan.

Penulis adalah orang yang kurang sepakat jika politik hanya dipahami sebagai rebut kuasa atau seni dari merebut kekuasaan. Jika ini yang kerap terjadi maka tak heran kesadaran politik kita tidak pernah meningkat. Bisa kita bayangkan logika rebut kekuasaan yang kerapkali dipakai bisa meminggirkan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi.

Fenomena sosok Jokowi dengan tingkat elektabilitas yang tinggi di beberapa hasil survei pekan ini menjadi daya tarik dan menjadi pertimbangan para tokoh politik untuk berduet dengan Jokowi. Komunikasi politik pun dibangun untuk mendekati Jokowi dengan berbagai alasan dan tujuan. Tak ayal posisi Jokowi-Hatta, Prabowo-Jokowi, kemudian Jokowi-Jusuf Kalla dan Jokowi-Ical menjadi arus opini yang kerapkali dibentuk oleh media.

Pada era postmodernisme ini semua menjadi mungkin. Karena dibangun oleh logika demokratis, siapa mampu mencitrakan dirinya baik, maka dia yang akan dipilih dan memimpin rakyatnya. Oleh karena itu tidak bisa dimungkiri aksi-aksi “simulasi” yang dilakukan para tokoh politik tidak bisa dihindari dari jagat politik, sehingga muncul istilah “blusukan” ala Jokowi yang kemudian menjadi kiblat bagi para tokoh politik. Kata “blusukan” menjadi “sign” atau “tanda” yang menjadi nilai guna atau menjadi nilai tukar suara di pemilu 2014.

Politik Simulasi

Semua yang nyata kini menjadi simulasi begitulah kata Jean Baudrillard dalam bukunya yang terkenal Simulation (1983). Ungkapan ini memang bernada hiperbolis yang menggambarkan kondisi dewasa masyarakat kita. Dengan hadirnya teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat, nilai-nilai yang luhur menguap, sesuatu yang otentik menjadi kabur dan tak bermakna. Kemudian realitas kini tidak sekedar dapat diceritakan, direpresentasikan dan disebarluaskan. Lebih jauh, kini realitas dapat dibuat, direkayasa dan disimulasi. Tentu dalam realitas buatan, realitas simulasi ini, segala sesuatu bercampur baur, bersilang-sengkarut.

Fenomena ini akibat hadirnya media massa. Dalam media massa politik hanya menjadi semacam simulasi para tokoh politik yang ingin menduduki jabatan tertinggi sebagai kepala pemerintah maupun kepala daerah. Partai politik bukan lagi sebagai tempat membina para loyalis, kemudian menciptakan kader yang mumpuni, namun partai politik terjebak pada arus pragmatisme politik.

Kekuatan itung-itungan suara, untuk pemenangan dan menjadi calon kuat yang didambakan masyarakat, membuat aktor politik lupa hakikatnya menjadi politisi. Tak heran jika politisi sekarang banyak menekankan pada citra diri untuk menampilkan citra berlebih dalam dirinya, kemudian aktor politik melakukan simulasi. Inilah yang penulis sebut sebagai politik simulasi. Di mana politik dimaknai sebagai cara mencitrakan diri dan menghasilkan realitas rekayasa bahkan semu.

Perlunya Politik Otentik

Dalam politik otentik tentu yang menjadi sandaran utama adalah kesadaran rakyat yang dibangun oleh aktor-aktor politik. Politik dipahami sebagai tugas suci untuk mendewasakan sikap dan prilaku masyarakat.

Politik otentik terwujud ketika individu yang berbeda-beda sekaligus setara bertindak dan berbicara untuk memutuskan perkara bersama-sama secara argumentatif-diskursif. (Sudibyo, 2012 : 13)

Politik harus mendorong warga mengekspresikan dirinya secara aktif, kreatif, dan tanpa tekanan. Kemudian politik juga harus bersifat partisipatoris, mendorong individu untuk keluar dari domain privat, kemudian berpartisipasi dalam perdebatan tentang persoalan-persoalan yang berada di luar dirinya, mampu berdialog dengan yang lain, dan melahirkan rasa empati pada situasi dan posisi orang lain.

Meminjam perkataan Hannah Arendt bahwa politik harus keluar dari pemahaman penguasaan dan pemaksaan. Karena penguasaan, pemaksaan dan kekerasan dengan tegas dianggapnya sebagai antitesa politik.

Arendt juga membedakan secara tajam hubungan dalam ruang privat yang bersifat apolitis dengan hubungan dalam ruang publik yang bersifat politis. Garis demarkasi antara ruang privat dan ruang publik ini penting untuk menghindarkan politik atau ruang publik dari infiltrasi hubungan atau tindakan yang bersifat privat.

Dengan kata lain Arendt menginginkan ruang publik yang bersifat politis itu harus terhindar dari ruang privat yang apolitis. Di sini dia menuntut bahwa yang politis itu harus membawa perubahan bagi publik. Contohnya ambisi politik itu seharusnya mampu membawa perubahan bagi masyarakat, mencerdaskan masyarakat, dan mengajak masyarakat untuk mengerti hak politik mereka.

Jika demikian sudah seharusnya tahun politik ini dijadikan ajang diskursus yang membangun untuk menciptakan demokrasi yang bermutu. Demokrasi yang menekankan pada kepentingan rakyat, real untuk kepentingan rakyat bukan mencuri kepentingan rakyat. Oleh karena itu, penulis meminjam istilah Jurgen Habermas, bahwa demokrasi bisa tumbuh di iklim masyarakat yang cerdas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun