Seorang pemuda berdiri mengamati pantai berpasir hitam tersebut. Menggunakan ponselnya, ia memotret setiap sudut pantai yang membuatnya tertarik.
Kondisi pantai saat itu tidak begitu istimewa. Karena ia datang di saat surut, sehingga permasalahan utamanya tidak terlihat jelas. Meskipun begitu, jejak-jejak keganasan laut terekam samar melalui lensa kamera ponselnya.
Orang awam yang pertama kali datang ke sana tidak akan mendapatkan gambaran tentang ancaman apa yang mengintai pantai tersebut. Apalagi ketika mereka datang di saat surut seperti pemuda itu, mereka akan menganggap pantai itu sebagai pantai berpasir hitam biasa saja, layaknya pantai-pantai timur Kabupaten Banyuwangi lainnya.
Akan tetapi, apabila diamati dengan lebih mendalam, tergambar jelas tentang nasib yang menunggu pantai itu di masa depan. Lenyap.
Pantai itu adalah Pantai Cemara. Sebuah pantai berpasir hitam yang terletak tidak jauh dari pusat kota Banyuwangi. Meskipun tidak sepopuler destinasi wisata lainnya di Banyuwangi seperti Pantai Pulau Merah atau Kawah Ijen, pantai ini terhitung cukup ramai dikunjungi oleh wisatawan.
Pantai Cemara memiliki ciri khas. Sesuai dengan namanya, sepanjang pesisir pantai ini banyak ditumbuhi pohon cemara. Selain itu, di pantai ini juga terdapat tempat pembudidayaan telur penyu. Hal ini yang menjadi daya tarik bagi para wisatawan.
Dibalik popularitasnya, pantai ini menghadapi permasalahan yang sangat berat dan mungkin yang paling berat yang ada di Kabupaten Banyuwangi. Musuh utama dari pantai ini ialah erosi.
Erosi pantai sendiri umumnya didefinisikan sebagai terkikisnya garis pantai akibat pengaruh gelombang ataupun arus laut. Erosi ini adalah hal yang umum terjadi di dunia karena memang garis pantai di seluruh dunia selalu berubah-ubah. Akan tetapi, kasus ini menjadi kasus yang istimewa di Pantai Cemara karena intensitasnya yang sangat masif.