Mohon tunggu...
Diah Prasetyanti Utami
Diah Prasetyanti Utami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S1 PJJ Komunikasi Universitas Siber Asia

Penikmat film, sastra dan dunia kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Eksistensi Film Indonesia Sebagai Aset Soft Power Diplomacy Pada Era Double Disruption

28 Juli 2021   23:45 Diperbarui: 29 Juli 2021   20:51 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Garin Nugroho di set lokasi shooting Film “Generasi Biru” (Courtesy of SET Film tahun 2009)

Kalau saja Pak Jokowi memberikan kuis untuk menyebutkan judul-judul film Indonesia yang dikenal dunia kepada para remaja kita, meski berhadiah motor saya ragu mereka bisa menjawab dengan cepat dan tepat. Sebegitu pesimisnya saya? Nyatanya demikian.

Garin Nugroho dalam Seminar Ubud Writers and Readers Festival 2019 menyatakan bahwa Indonesia perlu memiliki setidaknya lima sampai enam sutradara yang konsisten berkarya dalam kurun waktu setidaknya 10 tahun untuk menjadikan Indonesia diakui dan eksis dalam peta perfilman dunia. Sungguh membutuhkan nafas panjang. Apakah Indonesia sudah berada dalam posisi itu? Dengan cepat Garin menjawab bahwa itu belum terjadi.

Lantas apa yang salah dengan Film Indonesia? Rayya Makarim, penulis skenario Film “27 Steps of May” yang juga produser film banyak judul film Indonesia, dalam forum yang sama membeberkan bahwa Indonesia masih jauh dari standar industri perfilman dunia. Jangan bicara soal standar Internasional, menurut 'normal standard’ dalam sisi teknis, estetik pun dinilai Rayya masih sangat jauh panggang dari api.

 

Garin Nugroho menjadi Co-Sutradara bersama  beberapa sutradara dalam  Film Generasi Biru (Courtesy of SET Film 2009)
Garin Nugroho menjadi Co-Sutradara bersama  beberapa sutradara dalam  Film Generasi Biru (Courtesy of SET Film 2009)

Mengapa Indonesia belum sampai pada level terbaiknya untuk diakui di mata dunia? Utamanya adalah karena sengkarutnya ekosistem film kita sehingga masih sangat menjadi beban hidup industri film yang belum kunjung usai. Mari kita urai benang kusut ini satu per satu. 

Pertama, Film Indonesia belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Masyarakat kita masih lebih menyukai film-film impor dari Amerika, hingga Korea Selatan. Hal ini bisa jadi disebabkan sineas kita belum mampu menghadirkan premis-premis yang menarik untuk penonton lokal. Selain itu kurangnya permodalan menyebabkan sineas kita tidak mampu memberi packaging film yang mengacu pada standar film berkelas mulai dari pra produksi, produksi hingga aspek promosi.

Kedua, kurang optimalnya dukungan Pemerintah terhadap kemajuan film Indonesia. Film Indonesia belum memiliki payung yang jelas. Industri film dioper dari satu badan ke badan lain. Sehingga kebijakan mengenai regulasinya, dukungan permodalan, pendampingan film-film kita untuk ekspor dan ikut serta dalam festival internasional cenderung minim jika tidak bisa dikatakan tidak ada.

Di Indonesia terdapat Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang berdiri pada 2014. Berdasar Undang Undang No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman, BPI terdiri dari masyarakat atau insan yang ikut serta dalam penyelenggaraan perfilman. Dalam situs resminya tertulis tugas BPI adalah menyelenggarakan festival film dalam negeri, mengikuti festival luar negeri, menyelenggarakan pekan film di luar negeri, mempromosikan Indonesia sebagai lokasi syuting film asing, memberikan masukan untuk kemajuan film Indonesia, melakukan penelitian dan pengembangan perfilman, memberikan penghargaan, memfasilitasi pendanaan pembuatan film yang memenuhi standar dunia.

Indonesia sempat memiliki Pusat Pengembangan Perfilam (Pusbangfilm). Pada tahun 2020 berganti nama menjadi Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru (PMMB), di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan. Pada tahun 2015, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) berdiri dan sempat mengadakan program Akatara yang mempertemukan para investor dan sineas pada 2017. Ini berarti industri film sempat mendapat perhatian dari sejumlah badan pemerintah. 

Tapi pada kenyataannya sineas Indonesia masih bekerja mandiri dan sporadis. Karena Puslitbang berada di Direktorat Jenderal Kebudayaan dalam Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sehingga dukungan Pemerintah masih sebatas aspek kreatif, belum mengangap serius potensi film sebagai soft power diplomacy di kancah internasional. Selain itu mengapa tidak ada kolaborasi dan integrasi program yang serius dengan Kementerian Luar Negeri Indonesia? Ini masih menjadi pertanyaan besar yang belum ada jawabnya.

Ketiga, lemahnya jejaring dan kolaboratif setiap unsur dalam industri film kita. Masih berkaitan dengan aspek peran pemerintah. Pemerintah kita belum mampu menaungi semua stakeholder untuk duduk bersama dan melakukan kerja nyata untuk kemajuan film Indonesia. Termasuk merangkul konglomerat Indonesia untuk mendukung film kita. Hal ini berbeda dengan Korea Selatan yang industri filmnya terus tumbuh pesat, salah satunya dikarenakan konsitensi dan kontinuitas dukungan sejumlah chaebol (pebisnis konglomerat yang menjadi kekuatan ekonomi Korsel) hingga kini. 

Ini salah satu rahasia Film "Parasite" berhasil meraih penghargaan film terbaik di ajang penghargaan bergengsi Piala Oscar 2020. Sangat kontradiktif dengan perwakilan Indonesia yang minim dukungan Pemerintah. Mengutip pernyataan pengamat film Hikmat Darmawan bahwa Negara mengirimkan film, mengumumkan secara resmi, tapi di sisi lain tidak serius mendukung kegiatan yang harus dilakukan untuk mempromosikan film Indonesia di ajang Oscar 2020. Hal ini semacam dukungan yang setengah hati.

Unsur kolaboratif juga tidak boleh menafikan peran kritikus film. Indonesia masih kekurangan kritikus-kritikus berskala internasional yang mengulas tentang film-film Indonesia agar film Indonesia bisa dikenal dan mendapat stimulus untuk memperbaiki diri.

Keempat, masih kurangnya regenerasi sineas-sineas perfilman Indonesia. Hal ini juga berhubungan dengan masih minimnya literasi, sekolah perfilman, festival film lokal yang berkelanjutan di Indonesia. Sehingga industri film kita masih saja dalam ceruk kecil dengan istilah 4L (Lu lagi, Lu lagi) karena kurangnya percepatan regenerasi.

 

New Wave of Indonesia Cinema

Munculnya nama seperti Edwin, Joko Anwar, Mouly Surya, Kamila Andini yang digadang-gadang sebagai ‘New Wave of Indonesia Cinema’ setelah memenangkan beberapa penghargaan dalam sirkuit festival film internasional hingga tahun 2019, memang menjadi semacam ‘gula-gula’ dalam pahitnya perjuangan insan film Indonesia dalam mengukir peta dunia baru film Indonesia.

Film Indonesia yang berhasil memberi nafas baru dalam industri film Indonesia antara lain,

  • Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017). Mouly Surya membuktikan bahwa film dengan unsur lokal yang sangat kental namun dikemas dengan isu global dapat membawa nama Indonesia harum di kacah film dunia. Film ini tayang di 19 negara dan memenangkan 17 penghargaan, salah satunya Festival Film Sitges, Tokyo FILMeX, QCinema International Film Festival.  
  • Sekala Niskala (2017). Film karya Kamila Andini antara lain ditayangkan di Busan International Film Festival, Toronto International Film Festival dan menyabet penghargaan sebagai Best Feature 2017 di Asia Pasific Screen Awards dan Tokyo FILMeX.
  • Babi Buta yang Ingin Terbang (2008). Film garapan sutradara Edwin ini berhasil meraih penghargaan di Golden Horse Film Festival, Rotterdam International Film Festival, Singapore International Film Festival.  
  • Kucumbu Tubuh Indahku (2018). Film garapan sutradara Garin Nugroho ini meraih penghargaan di Venice Independent Film Critic dan Asia Pacific Screen Awards.
  • Pengabdi Setan (2017). Film ini berhasil menjadi film horor terlaris pertama pada 2017. Film karya Joko Anwar ini tidak hanya berhasil di tanah air, melainkan juga di 42 negara lainnya. Pengabdi Setan meraih beberapa penghargaan internasional seperti Film Horor Terbaik di ajang Toronto After Dark Film Festival, Overlook Film Festival, dan Popcorn Frights Film Festival.

Tapi itu saja belum cukup karena majunya industri film Indonesia membutuhkan kerja kolaborasi dan optimalisasi peran berbagai pihak. Bukan hanya bertumpu pada insan atau sineas film Indonesia semata. Membangun dan memperbaiki ekosistem film di Indonesia menjadi satu hal yang tak boleh dibantah demi meningkatkan citra Film Indonesia di mata dunia. Mengulang apa yang dikatakan Garin, negara kita butuh setidaknya lima sampai enam sutradara yang konsisten berkarya tanpa henti selama minimal 10 tahun.

Hantaman Era Double Disruption

Tahun 2019 setidaknya menjadi semacam harapan baru bagi kemajuan film Indonesia. Mengutip pernyataan Wakil Kepala Bekraf, Ricky Pesik dalam artikel katadata.co.id bahwa pertumbuhan jumlah penonton di bioskop Indonesia sangat pesat, mencapai 230 persen dalam lima tahun terakhir.

Selain itu, jumlah layar di studio juga tumbuh cepat dari 800 layar lebar (screen) menjadi 1.800 layar dalam tempo tiga tahun terakhir. Karena itu, tidak mengherankan jika semakin banyak investor dan perusahaan film mancanegara melirik pasar negara. Contohnya, produser Fox Internasional Productions dari 20th Century Fox Film Corporation terlibat dalam produksi film Wiro Sableng. Sony Pictures Entertainment sedang memproduksi film di Indonesia. Perusahaan film terbesar asal Korea Selatan, Lotte, juga sedang proses ekspansi melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Tapi kemudian datanglah pandemik Covid19 yang menghantam keras industri film Indonesia. Menurut Rhenald Kasali perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengubah lingkungan dan perilaku manusia. Dinamika perubahan itu makin cepat ketika teknologi informasi semakin bertumbuh. Kita pun masuk pada era disrupsi.

Ketika sebagian di antara kita masih berusaha beradaptasi dengan perubahan besar akibat teknologi, kita dihadapkan lagi pada perubahan besar yang dipicu pandemi Covid-19. Inilah yang disebut Era Double Disruption.

Setidaknya kecepatan produksi film Indonesia merosot hingga 40 persen dikarenakan keharusan hidup berdampingan dengan Covid19 serta munculnya 'adaptasi kebiasaan baru'. Adaptasi kebiasaan baru mengharuskan proses produksi film mematuhi protokol kesehatan ketat, aturan PSBB yang membuat perizinan shooting menjadi semakin sulit, kewajiban tidak boleh adanya kerumunan (padahal dalam produksi film biasanya melibatkan sejumlah besar crew dan pemain hingga bisa mencapai 50 orang). Belum lagi dengan penutupan bioskop yang memaksa produksi film harus beralih ke platform digital, sementara belum semua insan film siap secara kreatif terlebih dengan biaya produksi yang semakin ditekan akibat persaingan dan menurunnya investasi di industri film. Bahkan sejak adanya PPKM Darurat Jawa-Bali yang dimulai pada 3 Juli 2021 yang diperpanjang hingga 2 Agustus 2021 kembali membuat seluruh produksi shooting film di Indonesia terhenti.

Infrastruktur Pemerintah terkait regulasi platform digital juga belum tegas. Film-film kita belum terkurasi dengan baik, makin mudah dan maraknya pembajakan akibat cairnya ruang peretasan data di internet. Kendala-kendala ini meski sigap diatasi oleh semua stakeholder dalam industri film Indonesia. Kabar baiknya, migrasi film ke platform digital ini justru memberi efek positif yaitu memperlebar akses dunia global terhadap film-film Indonesia. Hal ini disebabkan distribusi berbasis internet membutuhkan waktu yang relatif lebih singkat dan biaya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan distribusi konvensional.

 

'Local Go Global' Sebagai Aset Soft Power Diplomacy

Mengutip apa yang dinyatakan Nye, Jr. bahwa power adalah “the ability to influence the behavior of others to get the outcomes one wants”. Masih menurut Nye, ia membagi kategori power ke dalam tiga kategori, yaitu soft power, hard power dan smart power.

Soft power adalah kemampuan suatu negara atau pihak untuk membujuk pihak lain melakukan apa yang diinginkannya tanpa menggunakan paksaan (coercion), ancaman (threats), terlebih sogokan (bribes). Aspek soft power diantaranya adalah penyebaran nilai-nilai budaya, dialog ideologis, upaya-upaya untuk mempengaruhi pihak lain dengan contoh yang baik, dan ajakan untuk menerima nilai-nilai kemanusiaan yang diyakini suatu negara.

Isu ideologi di berbagai bidang seperti lingkungan, pariwisata, terorisme, kesehatan, Hak Asasi Manusia (HAM), kemiskinan, dan lain lain untuk dapat menjadi target dari diplomasi dalam hubungan internasional. Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia perlu menunjukkan keberpihakan yang nyata dalam nilai-nilai yang diyakini bangsa ini ke mata dunia. Dan itu hanya bisa diwujudkan melalui strategi soft power diplomacy, dengan film menjadi salah satu aset penting dalam menyebarkannya.

Keseriusan Pemerintah dalam mendorong pemulihan industri film Indonesia pada era double disruption ini akan menjadi nafas panjang yang menghidupkan kembali film Indonesia yang koma karena pandemik Covid19. Dengan begitu insan film Indonesia dapat terus bertumbuh menghasilkan film yang mampu bersaing di pasar global yang secara tidak langsung menjadi sarana diplomasi demi meningkatkan hubungan yang lebih harmonis di dunia internasional. Selain itu juga akan mendorong peran film sebagai media literasi dalam rangka menjaga orisinalitas dan eksistensi nilai-nilai budaya Bangsa Indonesia agar terus hidup bagi generasi penerus yang terus digempur arus informasi dan budaya asing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun