Mohon tunggu...
Nadira Aliya
Nadira Aliya Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk tetap menghidupkan pikiran

Halo! Saya Diraliya, seorang penulis lepas yang cerewet ketika menulis namun kalem ketika berbicara. Selamat membaca tulisan-tulisan saya, semoga ada yang bisa diambil darinya :)

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami Pilihan

Sesak Kado Terakhir Ibu

8 Juni 2018   17:04 Diperbarui: 8 Juni 2018   17:07 1311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibuk hanya tersenyum. Ketupat sudah tersedia di piring. Si kecil Mira mulai menyantapnya. Di kampung ini, orang rutin untuk makan terlebih dahulu sebelum shalat Idul Fitri, sehingga setelah shalat waktu bisa lebih kondusif dimanfaatkan untuk halal bil halal.

Sekilas, hanya sekilas, Mar menangkap sosok Ibuk yang sedang tersenyum seperti seorang yang tak dikenalnya. Senyumnya masih senyum teduh Ibuk seperti biasa, hanya saja seperti ada yang lain di wajahnya. 

Agak sedikit cerah, jika bisa dibilang. Ini bukan seperti cerahnya wajah seperti wanita-wanita di iklan pencuci wajah. Tentu saja, sebab Ibuk memang sudah termakan usia, terlihat dari --pahatan-pahatan alami halus di wajahnya. Bahkan ketika sedang tersenyum.

"Mar. Anakku. Kamu anakku yang paling bikin aku bangga. Tahu kamu, Nak, kemarin Pak Ustadz cerita, bahwa rezeki itu bukan hanya uang saja, Nak. Tapi keluarga yang saling sayang juga rezeki. Yo aku berarti sudah kaya saat ini, Nak. Karena ada kamu dan Mira."

Mar mendengarkan sambil menyendok sayur labu ke atas potongan ketupatnya.

"Nggih, Buk." Kali itu ia tak menjawab bosan seperti biasanya.

"Sebagai anak tertua, kamu wis dadi kebanggaanku, Ndhuk. Mira juga sepertinya sudah mandiri. Itu lihat dia sudah bisa jualan sendiri pakai online online. Uang jatahmu untuk Mira dia jadikan modal. Kalian memang anak-anak pintar paling kusayang." Ibu kemudian mencium ubun-ubun kepala kami yang sudah mengenakan kerudung, siap menuju masjid untuk shalat Ied.

Seberapa seringkah kita bangga dikecup ibu? Semenjak usia berapa anak-anak mulai malu terlihat disayangi oleh ibunya di depan umum? Yang jelas, Mar dan Mira tak punya banyak waktu lagi untuk merasakan kehangatan itu.

"Nak, Ibuk minta maaf ya, anak-anakku. Ibuk sadar Ibuk sering juga cerewet dan marah-marah kepada kalian. Ngerti lah kalian sudah umur segini, semua demi kebaikan kalian sendiri."

Tak ada yang menjawab. Hari itu udara terasa sedikit berat di tenggorokan Mar dan Mira. Entah ada angin apa yang lewat.

"Yuk, wis, ojo lelet-lelet mangane. Sebentar lagi shalat dimulai, kalau ndak jalan sekarang, yo ndak dapat tempat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun