"Sahur, sahur, sahur, sahuur~"
Nadanya masih membekas di ingatan saya. Nada yang lembut dan jauh dari teriakan. Ketika mengenangnya, saya bisa tersenyum dan merasakan anak-anak muda yang berkeliling sambil bernyanyi itu seperti keberkahan di dini hari.Â
Saya tidak bangun terkejut. Saya tidak bangun sambil marah-marah. Yang ada hanya tenang dan segera menyiapkan santapan sahur.Â
Mereka yang Maklum dan PahamÂ
Penasaran, saya yang kini kembali ke ibukota bertanya pada seorang tetangga yang non-muslim tapi tidak anti-muslim. Saya tanya apakah mereka ikut terbangun ketika pukul 2.00 mendengar teriakan dari masjid.Â
Saya rasanya ingin membuktikan bahwa tak hanya saya yang terganggu dengan teriakan-teriakan itu. Mungkin dengan jawabannya, saya juga jadi punya argumen untuk menegur mereka yang berteriak.Â
Namun sungguh, ternyata mungkin hati saya tak cukup besar untuk menerima. Tak seperti tetangga saya ini.Â
Dengan lembutnya, ia malah berkata : "Iya, saya terbangun setiap malam. Tapi nggak papa lah, jadi meriah, banyak orang yang bangun kan berarti komplek juga lebih aman, Mbak. Soal terbangun, nggak masalah, Mbak. Saya kan bisa tidur lagi."
Jleb. Tak ada satu kalimatpun tetangga saya ini yang saya duga.Â
Saya saja yang muslim merasa terganggu, tapi dia yang non-muslim justru tak masalah dengan ini semua. Ah, seandainya saja semua orang bisa berlapang dada dan memiliki toleransi tinggi sepertinya. Bahkan saya pun sepertinya harus belajar dari dirinya, bertoleransi pada kawan-kawan sesama muslim yang bermaksud baik.Â
Karena semakin sedikit mereka yang mau dan mampu memahami.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H