Mohon tunggu...
Nadira Aliya
Nadira Aliya Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk tetap menghidupkan pikiran

Halo! Saya Diraliya, seorang penulis lepas yang cerewet ketika menulis namun kalem ketika berbicara. Selamat membaca tulisan-tulisan saya, semoga ada yang bisa diambil darinya :)

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Wajarnya Orang Ini Marah, Tapi Reaksinya di Luar Dugaan

5 Juni 2018   22:01 Diperbarui: 5 Juni 2018   22:21 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Pixabay.com

Ketika sedang terlelap dan mengistrahatkan badan selepas seharian bekerja, jujur saja dibangunkan dengan paksa adalah hal terakhir yang saya harapkan. Bagi sebagian orang yang paham, semakin dewasa manusia, semakin sedikit waktu yang ia miliki untuk tertidur. 

Maka jika memang terpaksa perlu dibangunkan, saya ingin dibangunkan dengan lembut, dengan suara yang bukan teriakan, dengan perlahan-lahan. 

Rasanya terbangun tiba-tiba dan kaget itu tak pernah enak. 

Cara Mereka Membangunkan Orang Sahur di Lingkungan Rumah Saya

Mungkin maksudnya baik, membangunkan orang agar tidak kelewatan makan sahur. Tapi, bahkan saya yang muslim kadang geram mendengar cara orang-orang di masjid membangunkan orang sahur. 

Itu masih pukul 02.00 pagi, mungkin semua orang masih dalam kondisi terlelap kelelahan setelah aktivitas seharian, tarawih, dan semua hal. Tapi yang orang-orang lakukan di masjid dekat rumah saya : berteriak dengan memanfaatkan toa masjid!

Saya nggak habis pikir. Mengapa harus berteriak-teriak seperti sedang menonton konser rock. Bahkan mungkin menonton konser rock masih lebih manusiawi. Ini... nada-nada perintah, marah, keras memekakkan telinga di dini hari. Siapa tak kesal?

Wahai, bukankah agama ini mengajarkan kelembutan?

Tak usah sebut peraturan perundang-undangan yang melarang toa masjid digunakan untuk selain adzan. Tak bisakah mereka periksa hati, dan mencoba cara-cara yang lebih manusiawi untuk membangunkan manusia?

Apakah kota ini memang sudah terlalu kejam, sehingga orang tak peduli lagi akan sikap santun dan menghormati orang lain yang bahkan tak perlu bangun sahur? Lalu bagaimana para bayi yang terbangun setelah susah payah ditidurkan oleh orang tuanya?

Lain Ladang, Lain Belalang, di Bandung Beda Lagi Kisahnya

Tadi itu kisah saya saat ini di ibukota. Sewaktu masih tinggal di kos di bumi Parahyangan dahulu, saya lebih tenang ketika bangun sahur. Orang-orang tidak berteriak habis-habisan pakai toa masjid. 

Masih ada anak-anak muda penyelamat anak-anak kuliahan seperti saya yang sering tak terbangun karena kelelahan beraktivitas di siang harinya. Ada anak-anak yang dengan lembut bernyanyi, mengajak orang untuk bangun sahur. 

"Sahur, sahur, sahur, sahuur~"

Nadanya masih membekas di ingatan saya. Nada yang lembut dan jauh dari teriakan. Ketika mengenangnya, saya bisa tersenyum dan merasakan anak-anak muda yang berkeliling sambil bernyanyi itu seperti keberkahan di dini hari. 

Saya tidak bangun terkejut. Saya tidak bangun sambil marah-marah. Yang ada hanya tenang dan segera menyiapkan santapan sahur. 

Mereka yang Maklum dan Paham 

Penasaran, saya yang kini kembali ke ibukota bertanya pada seorang tetangga yang non-muslim tapi tidak anti-muslim. Saya tanya apakah mereka ikut terbangun ketika pukul 2.00 mendengar teriakan dari masjid. 

Saya rasanya ingin membuktikan bahwa tak hanya saya yang terganggu dengan teriakan-teriakan itu. Mungkin dengan jawabannya, saya juga jadi punya argumen untuk menegur mereka yang berteriak. 

Namun sungguh, ternyata mungkin hati saya tak cukup besar untuk menerima. Tak seperti tetangga saya ini. 

Dengan lembutnya, ia malah berkata : "Iya, saya terbangun setiap malam. Tapi nggak papa lah, jadi meriah, banyak orang yang bangun kan berarti komplek juga lebih aman, Mbak. Soal terbangun, nggak masalah, Mbak. Saya kan bisa tidur lagi."

Jleb. Tak ada satu kalimatpun tetangga saya ini yang saya duga. 

Saya saja yang muslim merasa terganggu, tapi dia yang non-muslim justru tak masalah dengan ini semua. Ah, seandainya saja semua orang bisa berlapang dada dan memiliki toleransi tinggi sepertinya. Bahkan saya pun sepertinya harus belajar dari dirinya, bertoleransi pada kawan-kawan sesama muslim yang bermaksud baik. 

Karena semakin sedikit mereka yang mau dan mampu memahami. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun