Mohon tunggu...
Gentala
Gentala Mohon Tunggu... Lainnya - Sedikit perihal berita dan cerita

Haloo!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bergelut dengan Drama: Relasi Antara Drama dan Cerita Manusia

21 April 2020   13:24 Diperbarui: 27 April 2020   12:48 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

E.M. Forster, seorang penulis novel inggris, memberikan dua buah cerita. Menurut anda, mana cerita yang lebih mudah untuk diingat? (1) “Raja meninggal, ratu meninggal.” (2) “Raja meninggal, ratu meninggal karena sedih.” Tentunya kebanyakan dari kita lebih mudah mengingat cerita kedua. 

Dalam cerita kedua tidak hanya terjadi secara berkesinambungan, tetapi juga berhubungan secara emosional. Secara informatif, kita seharusnya dapat mengingat cerita pertama dengan lebih mudah—informasi tersebut lebih pendek. Namun, otak kita tidak bekerja dengan demikian.

“Membayangkan naratif—cerita—adalah instrumen mendasar pikiran.” Kata Mark Turner, penulis The Literary Mind. Otak kita lebih mudah menangkap cerita dengan storytelling. Ada kecenderung untuk terfokus pada cerita yang dirasa lebih bermakna. 

Dalam hal tersebut kita tidak hanya mendapat informasi, tetapi juga menjumpai alur, konflik, serta campuran emosi. Itu merupakan alasan sederhana mengapa kita lebih mudah mengingat cerita kedua.

Kondisi itu sudah dipahami betul oleh perusahaan periklanan. Google telah menggambarkannya dengan begitu indah pada iklan Super Bowl  “Google Parisian Love 2010.” Lihatlah di Youtube.

Sebagai manusia, kita cenderung akan membuat cerita yang bermakna, tentunya dengan campuran emosi untuk menyempurnakannya. Hal tersebut dirasa membuatnya lebih mudah untuk dikenang sepanjang hidup.

Tidak jarang cerita itu disederhanakan, diperumit atau bahkan diputarbalikkan agar terkesan lebih bermakna—menarik untuk diceritakan. Seperti yang diketahui oleh Charlie Munger, penulis Poor Charlie’s Almanack: “Suatu gagasan atau fakta tidak berguna lagi terutama karena sangat mudah untuk diakses.” 

Pada akhirnya informasi yang disampaikan—entah tentang cerita pribadi atau berita terkini—menjadi tidak faktual lagi. “Kita mencoba memasang cerita seperti kita mencoba pakaian,” Kata Max Frisch, seorang penulis novel asal Swiss. Kita dengan sengaja membuang atau mengimbuhi bagian-bangian tertentu agar mendapatkan cerita yang diinginkan.

Secara tidak sadar imajinasi turut menuntun kita untuk membuat pernyataan berlebihan saat bercerita. Hal tersebut biasanya dilakukan agar memberikan kesan yang lebih dramatis sehingga menggambarkan cerita yang ada sangatlah kompleks. Hal tersebut biasa terjadi ketika anda menggambarkan betapa sulitnya masalah anda ke orang lain untuk meraih simpati mereka. 

Sebagai bukti, pernahkah anda membayangkan bagaimana cara orang meninggalkan dunia? Seperti tertabrak mobil, dibunuh oleh badut gila, atau mati karena diabetes. Tentunya tertabrak mobil dan dibunuh oleh badut gila terdengar menakutkan. Walau terdengar demikian, nyatanya hal itu lebih sering terbesit dipikiran kita daripada mati karena diabetes—penyakit yang tidak terpikirkan menyebabkan kematian.

Namun, coba tanyakan ini kepada diri anda ketika mendengarkan atau menceritakan suatu hal. Apa tujuannya, apakah untuk memengaruhi atau meraih simpati? Kira-kira bagian mana saja yang hilang? Walau bagian-bagian yang hilang mungkin tidak relevan, tetapi bagian tersebut dapat berarti penting. Bongkar ceritanya. Hal tersebut akan mengantarkan anda ke dalam apa yang sebenarnya terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun