Mohon tunggu...
Muhammad Diponegoro
Muhammad Diponegoro Mohon Tunggu... Lainnya - Sesekali menulis dan merekam

Perantau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Hadiah Kecil untuk Sang Juru Masak

15 Juli 2020   11:57 Diperbarui: 16 Juli 2020   18:55 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (sumber: iStock Photo)

Ariani adalah pedagang daging yang menjajakan dagangannya pada jam 4 subuh.

Ariani berusia 41 tahun, belum menikah, pekerja keras dan selalu membuat orang tersenyum jika sedang mengobrol dengannya. Ia di kalangan pedagang terkenal sebagai wanita yang ramah. 

Tak ada satu pun orang yang mencibir karena kesendiriannya. Seorang Ariani tak baik hanya dimiliki oleh satu manusia. Ia bagi lingkungannya terlahir untuk membuat orang-orang di sekelilingnya cerah bergelora.

Suatu ketika ada seorang pelanggan yang mulai menarik perhatiannya. Setelah Ariani perhatikan, ia datang berbelanja pada hari Senin, Rabu dan Jumat. 

Dia adalah seorang pria paruh baya, selalu datang ke lapak Ariani dengan menggunakan celana sedengkul dengan jaket jins biru yang sudah mulai belel. Meski demikian, dia selalu hadir dengan wajah yang segar dan sesekali mengeluarkan aroma parfum masjid Nabawi ketika mendekat ke lapak Ariani.

Pria itu selalu membeli 4 kilogram daging has dalam. Ia tak pernah membeli daging lainnya atau daging yang serupa dengan melebihkan atau mengurangi jumlah timbangan. Dengan kebiasannya seperti itu dan logat Minangnya yang masih kental, Ariani yakin ia berprofesi sebagai juru masak di sebuah rumah makan.

Untuk menguji dugaannya itu, pada hari Senin Ariani membesarkan nyali untuk menanyakan langsung kepada pelanggan yang selalu membuatnya bertanya-tanya. 

Tidak seperti biasanya, Ariani kala itu mengenakan kaos favoritnya yang biasa ia kenakan untuk pulang ke kampung halaman, dan rok bermotif bunga yang jarang ia pakai. Ariani tidak menghiasi wajahnya dengan lipstik atau bedak, tetapi kali ini ia menyemprot wewangian beraroma mawar yang ia beli di hari sebelumnya.

"Pagi, mbak, seperti biasa ya."

"Siap, bang."

"Tidak mau beli yang lain, bang?" tanya Ariani berbasa-basi.

"Itu saja sudah cukup kok, mbak."

"Memangnya dagang di mana, bang?"

"Di jalan Melati, mbak."

"Doa Mande?"

"Iya, mbak."

"Oalah, kalau itu sih saya tahu!"

"Kapan-kapan mampir, Mbak," ujar pria itu, "cicip Dendeng Batokoknya. Untuk daging-dagingan saya semua yang masak, mbak." katanya dengan bangga.

Ariani pun turut berbangga hati karena dugaannya selama ini tepat. Betapa indahnya jika seorang juru masak di rumah makan Padang mendapat dukungan dari seorang wanita yang punya keahlian membuat banyak orang tersenyum, dan memiliki pengetahuan mendalam tentang daging sapi ---tetapi itu adalah mimpi di siang bolong bagi Ariani.

Terkadang ketika pria itu datang, khususnya pada hari Jumat, pria itu mengobrol sebentar dengan Ariani. Ariani akan menatap wajahnya dengan seksama meski sekilas. 

Ariani suka melihat pria itu saat ia menyisir rambut dengan jarinya. Sebaliknya, pria itu sepertinya juga senang mengobrol dengan Ariani yang kerap kali ucapannya mengundang tawa.

Pria itu terus datang tiga hari dalam seminggu, dan tak pernah ia membeli has luar, sengkel, atau sandung lamur. Suatu hari pria itu datang meminta daging has dalam pada Ariani tanpa memilihnya terlebih dahulu. Kunci motornya tertinggal di parkiran, sehingga ia mesti segera kembali ke sana untuk kemudian mengambilnya.

Seketika itu Ariani mendapatkan ide memberikan daging has dalam impor yang harganya lebih mahal dua kali lipat ketimbang daging yang biasa pria itu pesan. Ketika pria itu kembali, Ariani buru-buru memasukan daging tersebut ke dalam plastik.

Saat pria itu pergi, usai sedikit mengobrol, Ariani merasa kegirangan sendiri. Sepanjang hari ia membayangkan kejadian ketika pria idamannya itu mendapatkan kejutan darinya. 

Ketika sedang memotong daging, atau ketika sedang melumuri daging dengan bumbu, atau ketika sedang mencicipinya. Ternyata berandai-andai seperti itu memicu perut Ariani bergejolak.

Tak disangka sehari setelah Ariani memberi sebuah 'hadiah kecil', pria itu muncul kembali ke lapak Ariani. Kejadian itu cukup mengagetkannya, karena hari itu adalah hari Sabtu, hari yang tak semestinya pria itu datang. Ariani segera mengikat rambutnya yang terurai, kemudian ia segera menyapu sisa-sisa kulit bawang yang menempel di bajunya dengan telapak tangannya. Saat itu Ariani sedang membantu kawannya di lapak sebelah mengupas kulit bawang.

"Mbak, Terima kasih. Saya jadi tidak enak," kata pria itu sambil tersenyum.

"Terima kasih untuk apa, bang?" tanya Ariani berpura-pura.

"Untuk dagingnya, mbak. Aku tahu itu daging mahal, dan kemarin daging itu aku masak untuk Dendeng Batokok, dan ternyata masakanku itu langsung ludes dibeli pelanggan!"

"Wah, Alhamdulillah. Seneng bisa bantu Abang."

"Amir, namaku Amir." pria itu kemudian menjulurkan tangannya.

"Ariani, tapi biasa dipanggil Ani, bang." jawabnya sambil tersipu malu.

Semenjak perkenalan itu, Ariani berjumpa dengan Amir tidak hanya di lapaknya saja, Ariani juga sewaktu-waktu diajak Amir mengobrol di jalan Melati, atau di tempat di mana keduanya ingin menghabiskan waktu bersama tanpa harus terganggu oleh para pelanggan yang ingin membeli daging mentah atau Dendeng Batokok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun