Satu lagi, saya menilai LaNyalla benar adanya. Sebab berkaca pada alasan yang dikemukakan oleh pengusung ide penundaan ini bahwa Indonesia masih dalam situasi pandemi dan kesulitan anggaran jelas bukan alasan yang dapat diterima. Jika pandemi dijadikan alasan, kenapa pada tahun 2020 silam pemerintah memaksakan Pilkada Serentak tetap dilaksanakan padahal virus Covid19 tengah ganas ganasnya menyerang seantero negeri. Soal anggaran, rasanya juga bukan alasan yang sulit amat bagi pemerintah untuk memenuhi kewajiban itu. Jikapun dianggap terlalu besar dan membebani APBN, kenapa tidak dilakukan revisi dan pembahasan ulang. Tokh masih ada waktu untuk itu oleh Komisi Pemilihan Umum dan DPR RI untuk membahas dan melakukan perubahan pada nomenklatur anggaran yang dirasa terlalu membebani APBN.
Saya setuju dan menyimpan kekhawatiran yang sama dengan LaNyalla. Memang sih, ide ini belum sepenuhnya masuk ke ruang ruang percakapan rill di tengah masyarakat, namun bukan berarti rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan pemilik negara ini akan setuju setuju saja dengan gagasan penundaan ini.
Sama seperti LaNyalla saya berpikir rakyat mungkin diam dan masih mau menyimpan amarah dan atau menahan diri. Namun jika kelak kemudian kemarahan itu memuncak, bukan tidak mungkin kita akan merasakan dampak yang tidak sama sama kita inginkan.
Rakyat adalah pemilih sah republik ini. Merekalah pemilik sebenarnya dari NKRI. Jangan sampai nanti kemarahan rakyat pada partai politik dan elit elitnya bisa berdampak buruk. Karena itu, sebelum kemarahan memuncak karena kesulitan ekonomi yang sudah kian mencekik mulai dari kenaikan harga dan kelangkaan sembako hingga ekonomi yang melambat, elit politik berhati hatilah mengeluarkan pernyataan. Sebab jika rakyat sudah marah dan mereka kemudian bersikap, itu akan lain ceritanya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H