Mohon tunggu...
Boby Lukman Piliang
Boby Lukman Piliang Mohon Tunggu... Politisi - Penulis, Penyair dan Pemimpi Kawakan

Penulis, Penyair dan Pemimpi Kawakan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Status Tersangka Mulyadi dan Kejahatan Demokrasi Pilkada

1 Januari 2021   21:46 Diperbarui: 1 Januari 2021   21:48 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilkada Sumbar yang berlangsung pada 9 Desember tahun lalu sudah selesai dilaksanakan, bahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Barat juga sudah memutuskan pasangan Mahyeldi Ansharullah dan Audy Joynaldi sebagai pemenang Pilkada. Keputusan KPU dalam pada tanggal 20 Desember silam, tentu harus diakui sebagai sebuah keputusan yuridis formal, namun demikian, hal itu belum final karena masih tersedia saluran untuk menggugat hasil Pilkada tersebut ke Mahkamah Konstitusi yang saat ini sudah masuk pada tahap perbaikan gugatan.

Saya tidak akan membahas soal hasil Pilkada yang dimenangkan oleh pasangan Mahyeldi dan Audy. Tentu hal itu adalah fakta politik yang harus diakui bersama. Namun yang menjadi persoalan tentulah pelaksanaan Pilkada tersebut yang menurut saya sarat akan dugaan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh oknum aparatur negara

Sebagaimana diketahui, pada hari Jumat (18/12/2020) silam, saya melaporkan Komisioner KPU Sumbar Saudara Izwaryani ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Ditreskrim Polda Sumbar. Laporan pertama ke DKPP saya lakukan karena ada dugaan kuat telah terjadi pelanggaran kode etik oleh komisioner KPU dan laporan ke Polda karena ucapan Izwaryani di berbagai media online di Padang yang menyatakan bahwa Cagub Mulyadi bisa dibatalkan sebagai peserta Pilkada jika terbukti bersalah.

Tentu kita ingat bersama bahwa pada hari terakhir pelaksanaan kampanye yaitu pada tanggal 5 Desember 2020, Bareskrim Polri kemudian menetapkan Calon Gubernur nomor urut Satu, Mulyadi sebagai tersangka. Mulyadi dijerat tindak pidana pemilu pasca dilaporkan oleh Juru Bicara Pasangan Mahyeldi - Audy ke Bawaslu Sumbar dan Yogi Ramon Setiawan ke Bawaslu RI. Sehingga berdasarkan laporan Yogi tersebut, Sentra Gakumdu merekomendasikan kasus tersebut ditindaklanjuti di Bareskrim sebagai temuan pelanggaan pemilu.

Namun hal itu tentu saja mengundang tanda tanya, jika disebut sebagai pelanggaran kampanye, kenapa hanya Mulyadi yang diperiksa dan dilaporkan, bahkan tuntutan pelapor Miko Kamal ke Bawaslu hanya agar diberi hak yang sama tampil di TV One dan hal tersebut sudah dipenuhi dan memang sudah direncanakan oleh TV One dari awal. Bahkan jauh sebelum masalah Coffee Break, Tiga orang Cawagub Sumbar tampil di Padang TV memaparkan visi-misi dan beradu argumen terkait Strategi Pengembangan BUMD, dimana hal ini jelas melanggar dan Bawaslu harusnya berinisiatif memproses karena hal ini bukan delik aduan.

Disinilah titik tolak masalahnya, aroma Mulyadi harus dikalahkan dengan berbagai instrumen. Berbagai lembaga survey baik lokal maupun nasional sejak bulan Februari tahun 2020 telah merilis hasil secara berkala yang menempatkan Mulyadi pada posisi teratas sebagai calon yang akan dipilih. Politisi Demokrat dan mantan Konsultan itu diposisikan sebagai "Common Enemy". Mulyadi harus kalah dan dikalahkan.

Berbagai cara dilakukan untuk menjatuhkan elektabilitas Mulyadi. Ia diserang dari segala penjuru, bahkan dengan isu pribadi soal isterinya yang dipersoalkan baru berhijab, padahal sudah bertahun tahun istrinya berhijab. Persaingan Pilkada masuk ke ranah hal-hal yang tidak bermutu dan subtantif. Namun serangan itu mental dan tidak berguna. Elektabilitas Mulyadi terus menanjak.

Narasi bahwa Mulyadi harus kalah ini terus dimainkan. Kandidat lain  seperti mendapatkan momentum saat Mulyadi ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim. Sebuah keputusan yang janggal dan terasa tergesa gesa. Berita Mulyadi yang ditetapkan sebagai tersangka pada hari terakhir kampanye jelas sebuah strategi jitu untuk membuat Mulyadi dan Tim Kampanyenya tidak punya kesempatan untuk melakukan perlawanan.

Bagaimana mau melawan berita yang diviralkan dengat sangat masif. Hal itu diperparah dengan statemen Komisioner KPU Izwaryani yang menyebut Mulyadi bisa dibatalkan dan didiskualifikasi sebagai perserta Pilkada. Izwaryani memperburuk situasi dengan ucapannya kepada media. Entah berpihak pada siapa komisioner satu itu dan entah apa pula yang ada di dalam benaknya saat itu, namun yang pasti karena ucapannya tersebut situasi makin memburuk di kubu Mulyadi dan Ali Mukhni.

Polri mengabaikan hasil rapat pleno Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang menyebutkan bahwa program "Coffee Break" di TVOne bukanlah program kampanye dan materi yang disampaikan dalam program tersebut tidak ada kaitannya dengan Pilkada.

Mulyadi memang harus dikalahkan, padahal tujuan Mulyadi maju Gubernur betul-betul ingin mengabdi total untuk kepentingan Sumatera Barat. Putra Bukik Apik Kota Bukittinggi itu bahkan rela melepaskan jabatan sebagai anggota DPR-RI yang masih tersisa empat tahun lagi. Selama tiga periode menjadi anggota DPR-RI Mulyadi sudah banyak yang diperjuangkan oleh Mulyadi. "Lakek tangan" Mulyadi secara khusus terlihat sewaktu ia menjabat sebagai pimpinan Komisi V dan VII. Dengan bekal pengalaman politik nasional dan kemampuan profesional yang dimiliki, Mulyadi betul betul bercita-cita untuk sebuah perubahan serta menjadikan Sumatera Barat kembali menjadi provinsi yang terkemuka di Pulau Sumatera dan bahkan Indonesia. Sangat disayangkan niat tulus dan ikhlas Mulyadi di jegal dengan cara yang tidak sportif dan menghalalkan segala cara.

Kini kita tahu semua, hanya berselang 2 hari setelah pemilihan dilaksanakan, Status tersangka Mulyadi dicabut dengan selembar Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Bareskrim. Alasannya sungguh lucu, tidak cukup alat bukti. Tentulah menjadi pertanyaan kenapa awalnya ditersangkakan kalau tidak cukup alat bukti.

Logika akal sehat semua orang tentu sulit menerima alasan ini. Dan tentu lebih sulit lagi untuk membantah dugaan mentersangkakan Mulyadi adalah sebuah upaya dan skenario politik yang sudah disiapkan jauh jauh hari. Bayangkan, seorang warga negara yang tengah berstatus calon kuat Pilkada menyandang status tersangka selama enam hari saja yaitu tiga hari menjelang pencoblosan dan dua hari setelah pencoblosan.

Kini, Mulyadi tengah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Ia menuntut keadilan atas perampasan atas haknya. Saya mendukung langkah itu. Sebagai warga negara, Mulyadi menggunakan haknya dan menjalani jalur yang tepat. Ia menggugat ke MK.

Sayapun sudah melaporkan Izwaryani ke DKPP dan Polda. Di DKPP saya memakai dalil dugaan pelanggaran kode etik dan ke Polda kepada penyidik saya menggunakan pasal 55 UU 14 Tahun 2008 yaitu UU tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Semoga ada keadilan hukum bagi Mulyadi dan tentu saja pemilih di Sumbar yang merindukan perubahan bagi Ranah Minang tercinta. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun