Berselang beberapa jam setelah menerima kunjungan Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan dan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Presiden RI ke Enam Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan pendapatnya tentang perlunya dilakukan rekosiliasi menyeluruh pasca Pilpres dan Pileg serentak yang baru saja usai dilaksanakan.
Menurut SBY, di tengah situasi panas menanti hitung suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebaiknya kedua belah pihak dan tim pemenangan menahan diri agar tidak terjebak dalam ego masing-masing yang akan menyengsarakan masa depan rakyat.
Harus diakui bahwa pasca pelaksanaan Pilpres dan Pileg serentak, kondisi masyarakat memang tengah terbelah mengikuti dua kubu kandidat yang bersaing. Sementara itu, proses rekonsiliasi yang digagas dan disuarakan banyak pihak seperti tidak mendapat tanggapan dan justru kalah bersaing dengan adanya ajakan untuk menggelar aksi people power dan gerakan yang menentangnya.
SBY, Mahfud, Dahlan Iskan serta tentu saja Mantan Ibu Negara Sinta Nuriyah Wahid tengah berjuang keras menyuarakan agar semua pihak mampu menahan diri dan mengikuti proses politik ini sampai selesai dan memberikan kesempatan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyelesaikan perkerjaan secara tenang dan jauh dari tekanan.
Memang harus diakui bahwa sepuluh hari pasca pelaksanaan Pilpres dan Pileg serentak, gejala keretakan dimasyarakat semakin nyata terlihat. Kita bahkan sampai pada kesimpulan bahwa bangsa sebesar dan seluas Indonesia ini memang belum siap untuk menggelar hajatan politik serentak dan sebesar itu sekaligus.
Indikasinya adalah banyaknya korban yang meninggal dunia. Memang harus dibuktikan secara medis benarkan ratusan petugas penyelenggara Pemilu itu meninggal karena faktor kelelahan akibat padatnya jadwal Pemilu atau disebabkan hal lain. Namun tingginya angka kematian penyelenggara pemilu itu membuktikan bahwa Pilpres/Pileg 2019 adalah hajatan demokrasi paling gila yang pernah diadakan di Indonesia.
Kematian ratusan orang dan puluhan diantaranya masih menjalani perawatan di Rumah Sakit seakan membuka mata kita bahwa pelaksanaan pesta demokrasi itu telah berubah menjadi kuburan massal bagi penyelenggara pemilu. Tentu saja kerugian ini tidak bisa dihitung dengan angka angka diatas kertas dan santunan puluhan juta bagi korban. Buruknya demokrasi ini telah membuka mata kita bahwa kita belum siap sepenuhnya untuk melaksanakan pemilihan umum serentak.
Kembali ke rekonsiliasi yang ditawarkan SBY, jelas itu harus diapresiasi dan ditindaklanjuti. Namun rekonsiliasi yang ditawarkannya itu bukanlah rekonsiliasi pihak yang kalah menerima begitu saja kekalahan dan pihak yang menang kemudian merayakan kemenangannya.
Rekonsiliasi yang dimaksud SBY adalah rekonsiliasi yang berdasarkan pada hukum dan kebenaran. Tentu saja hal itu harus dilakukan. Rekonsiliasi itu juag meliputi tiga hal utama yaitu sikap kompromi kedua belah pihak dengan mengedepankan keselamatan bangsa diatas semua kepentingan kedua calon dan pendukungnya, kedua, mencari solusi yang sama sama menguntungkan dan yang terakhir adalah rekonsiliasi yang saling menghormati proses pemilu dengan azas saling membuka diri dan menahan diri dari sikap ego.
SBY sudah membuktikan itu semua pada tahun 2009 silam, saat sebagai Capres petahana ia sukses menyelenggarakan rekonsiliasi antar semua komponen bangsa. Pasca Pilpres yang dimenangkannya, tidak ada sekat politik apapun yang menghambat komunikasi. Partai politik tetap bisa beroposisi dengan sehat, sementarta sekutu tetap diberi kesempatan untuk mengkritik.
Sikap demokratis SBY ini mestinya ditiru. Ia membuka ruang kebebasan seluas luasnya kepada pengkritiknya untuk menyampaikan pendapat. Oposisi tidak merasa tertekan dan bebas menyatakan sikap sebagai oposan, sementara di dalam koalisi sendiri berbagai irama politik dimainkan dengan cara masing masing.
Saya melihat tawaran SBY ini wajib dicermati ditengah makin kerasnya arus polarisasi diantara sesama warga negara. Semua pihak harus pula menahan diri. Kubu petahana dan Kubu Oposisi semestinya tidak mengeluarkan pendapat yang justru makin memperkeruh suasana.
Rekonsiliasi seharusnya menjadi kata yang tidak hanya gampang diucapkan, namun harus mudah pula untuk dilaksanakan. Rekonsiliasi juga bukanlah kongkow kongkow antar politisi semata, ia adalah sebuah gerakan perdamaian yang berbabis pada kebenaran dan hukum. Bukan pada bagi bagi kue kekuasaan dan belah semangka belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H