PENDAHULUAN
Â
 Akses pendidikan merupakan hak seluruh rakyat sebagaimana yang tersirat dalam Undang-undang Dasar 1945 bahwa pendidikan nasional ditujukan untuk semua warga negara. Dalam merealisasikan tujuan pendidikan nasional tersebut pemerintah telah melaksanakan wajib belajar 6 tahun, kemudian meningkat program belajar 9 Budaya Patriarki dan Akses Perempuan dalam Pendidikan Nursaptini, Muhammad Sobri , Deni Sutisna, Muhammad Syazali, Arif Widodo AL-MAIYYAH VOL.12 NO.2 DESEMBER 2019 17 tahun, dan sekarang mulai mencanangkan wajib belajar 12 tahun. Agar program tersebut tercapai negara memberikan penjaminan-penjaminan kepada rakyatnya yang kurang mampu agar bisa megakses pendidikan. Saat ini terdapat program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang di peruntukkan bagi pendidikan dasar sebagai subsidi dalam pembiayaan pendidikan. Walaupun dalam segi pembiayaan terutama pendidikan dasar sudah difasilitasi oleh negara masih banyak warga negara yang belum dapat mengakses pendidikan. Keadaan ini dapat dilihat berdasarkan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada tahun 2018 bahwa capaian pembangunan manusia laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Tercatat bahwa IPM laki-laki mencapai 75,43 sementara IPM perempuan sebesar 68,63 (Badan Pusat Statistik, 2018). Secara konseptual, realitas ini menunjukkan adanya disparitas gender. Ketidaksetaraan akses perempuan dalam pendidikan salah satunya disebabkan oleh budaya patriarki yang sebagian besar ada di belahan dunia termasuk Indonesia (Nasir & Lilianti, 2017). Masyarakat yang menganut patriarki menempatkan peran laki-laki lebih dominan dalam segala hal dibandingkan perempuan (Rokhmansyah, 2016) Budaya paternalistik dan ideologi patriarki yang dianut masyarakat membatasi akses perempuan dalam memperoleh pendidikan. Hal ini turut menyumbang pada rendahnya kualitas perempuan. Termasuk pada masyarakat sasak di NTB, yang sistem kekerabatannya menganut sistem patrilineal. Sistem kekerabatan Patrilineal merupakan sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak laki-laki (Moechtar, 2019). Di mana sistem ini mendorong melekatnya budaya patriarki. Budaya patriarki yang masih melekat di masyarakat membuat kesadaran akan pentingnya pendidikan sangat rendah terutama bagi anak perempuan, yang menjadi prioritas dalam mengakses pendidikan ialah anak laki-laki
 Â
Â
PEMBAHASAN
 Budaya patriarki mengacu pada kondisi sosial budaya yang memberikan pandangan bahwa laki-laki adalah yang utama, dan melakukan kendali terhadap wanita. Menurut Pyke (1996) Ada tiga asumsi penting mendasari ideologi patriarki yaitu: 1) Kesepakatan-kesepakatan sosial yang sesungguhnya hanya menguntungkan kepentingan kelompok yang dominan cenderung dianggap mewakili kepentingan semua orang. 2) Ideologi hegemonis seperti ini merupakan bagian dari pemikiran sehari-hari, cenderung diterima apa adaya (taken for granted) sebagai sesuatu yang memang demikianlah semestinya. 3) Dengan mengabaikan kontradiksi yang sangat nyata antara kepentingan kelompok yang dominan dengan kelompok subordinat, ideologi seperti ini dianggap sebagai penjamin kohesi dan kerja sama sosial sebab jika tidak demikian, yang terjadi justru suatu konflik
Tipe ideal patriarki dalam teori Weber mengasumsikan bahwa dominasi atas perempuan adalah fenomena "alamiah". Para anggota keluarga menerima dominasi sebagai kebenaran yang seharusnya. Mereka tidak mempermasalahkan tradisi dan keyakinan yang mendukung praktik patriarki, serta menerima kehidupan subordinatnya (Munfarida, 2009) Pada masyarakat terdapat anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, pada akhirnya akan ke dapur. Bahkan dalam keluarga yang memiliki keuangan terbatas, maka pendidikan akan diprioritaskan pada anak laki-laki (Narwoko, J. Dwi & Suyanto, 2013). Biasanya orang tua lebih mementingkan anak lakilakinya untuk sekolah yang tinggi sedangkan anak perempuannya diminta di rumah. Hal ini membuat anak perempuan kesulitan untuk mendapatkan akses pengetahuan. Pada dasarnya ada faktor kultural yang menyebabkan individu dalam keluarga dan masyarakat tidak mempunyai akses yang sama untuk merealisasikan hak-haknya sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat maupun sebagai warga negara. Salah satu hambatan kultural tersebut adalah adanya relasi gender (gender relation) yang tidak adil dan setara sebagai akibat dari budaya yang sangat paternalistik, di masyarakat kondisi seperti ini nampak dengan jelas karena sampai saat ini keterbatasan akses perempuan terhadap pendidikan, ekonomi, dan lain-lain masih cukup menonjol (Arjani, 2007). Berdasarkan hasil penelitian Yudhaningrum (Yudhaningrum, 2009) bahwa masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai budaya patriarkhi sangat berpengaruh pada pola pendidikan di keluarga yang diterapkan pada anak.
Orang tua dalam mendidik anak disesuaikan dengan budaya dan tradisi yang berlaku di masyarakat dimana mereka tinggal. Anak laki-laki cenderung dididik untuk menjadi calon kepala rumah tangga dan anak perempuan dididik untuk menjadi calon pendamping suami yang baik (ibu rumah tangga). Perbedaan perlakuan orang tua terhadap anak laki-laki dan perempuan terjadi dalam penanaman moral terutama mengenai cara duduk dan pergaulan anak, penanaman nilai sosial, cinta kasih, dan dukungan terhadap pendidikan formal. Pemerataan pendidikan memiliki arti pemberian kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk memperoleh pendidikan. Pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan memiliki dua aspek, yaitu aspek persamaan kesempatan
(equality) dan aspek keadilan (equity). Persamaan artinya kesempatan untuk memperoleh pendidikan meninjau apakah akses terhadap pendidikan telah merata. Aspek keadilan dalam memperoleh pendidikan meninjau apakah kesempatan memperoleh pendidikan telah sama antar berbagai kelompok (Pendidikan, 2007). Pendidikan nasional adalah pendidikan yang demokratis yang bertujuan untuk membangun masyarakat demokrasi. Sistem pendidikan demokratis memberikan kesempatan yang sama untuk seluruh rakyat sesuai dengan kemampuan dan bakatnya masing-masing untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas (Tilaar, 2009). Mengenyam pendidikan wajib bagi setiap warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan, pendidikan tidak mengenal jenis gender, gender merupakan atribut yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara kultural
Pemerataan akses pendidikan dasar sembilan tahun sebagai sebuah investasi pada pengembangan sumber daya manusia (Ali, 2009). Berbagai peraturan yang ada berkaitan dengan pentingnya pendidikan sampai hal-hal teknis sudah dijelaskan dalam Undang-undang (Hakim, 2016). Diantaranya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Setiap warga negara Indonesia berhak mengenyam atau mengakses pendidikan sampai pendidikan tinggi. Hal ini direalisasikan dengan memberikan penjaminanpenjaminan seperti program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pendidikan dasar dan bantuan-bantuan lain untuk pendidikan tinggi. Namun kenyataan yang terjadi di masyarakat walaupun sudah ada kebijakan yang mengatur untuk kesamaan akses pendidikan bagi seluruh warga negara. Akan tetapi karena pengaruh kultur sebagian warga negara terpinggirkan untuk mengakses pendidikan.