Mohon tunggu...
Dipa wijaya
Dipa wijaya Mohon Tunggu... Penulis - Suka membaca tapi tak pernah bisa membaca isi hatimu

Dipaw97.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Rindu tapi Masih Benci

7 April 2020   21:10 Diperbarui: 7 April 2020   21:17 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benci tapi rindu

Mentari bersinar terang. Aku mengibas-kibaskan jaket yang kukenakan. Glek.Glek.Glek. Tenggorokan aku sirami dengan air dari botol yang aku bawa. Hujan ga kepanasan, panas ga kehujanan. huft! padahal sepanjang jalan tadi ketika mengendarai motor udara berhembus selaras dengan kecepatan yang aku pacu. Kataku menggerutu sendiri. Orang yang mengendarai motor datang dan pergi silih berganti. Sesaat kemudian aku beranjak dari motor. Melangkahkan kaki perlahan. Setapak. Dua tapak. Bolong di sepatu menganga jelas.

Beberapa orang sedang menunggu di depan lift. Aku melirik ke kanan. Tepat di tempat yang sama. Helm coklat itu bertengger di atas spion motor yang masih jelas sekali ku ingat. Body plastik di motor itu bertatokan bermacam stiker. Sekelebat bayangan pemilik motor itu pun aku masih bisa rasakan. Aku menggelengkan kepala. Ah, mungkin itu cuma perasaan sesaat. Bisikku dalam hati. Ting. Lift yang ditunggu tiba di bawah. Kerumunan dari dalam ke luar. 

Orang itu.. satu di antara kerumunan yang bergegas entah kemana. Ya ampun. Baru juga sekelebat terpikirkan, malah orangnya lewat. Ia dengan langkah kaki seribu menuju ke depan. Mungkin mau jajan. Aku mengabaikan yang tadi lewat untuk masuk ke dalam lift. Tapi, tepat di depan lift, pintu perlahan menutup. 

Beberapa lama kemudian, lift di sebelah kanan tiba di bawah. Cuma dua orang yang keluar. Aku mengambil kesempatan yang ada untuk masuk ke lift. Tombol angka 5 aku tekan. Sudahlah... itu cuma rindu sesaat yang biasa tiba-tiba muncul saat kau melihat orangnya. Kata-kata itu seperti dibisikan oleh seseorang ke telingaku. 

Yang jelas, benciku lebih mendominasi daripada rasa rindu yang ada. Aku meyakinkan sendiri. Tapi kau tak bisa membohongi sendiri akan rasa yang masih setia menggelayut di atas benakmu. Kata-kata itu keluar lagi. Hingga akhirnya pintu lift terbuka saat layar penunjuk lantai memperlihatkan sudah berada di lantai 5.

Aku melangkahkan kaki ke luar. Ya... mungkin aku benci tapi sedikit rindu. Atau jangan-jangan rindu tapi dilapisi benci.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun