Munir Said Thalib, salah seorang putra terbaik bangsa yang lahir di Malang, Jawa Timur pada 8 Desember 1965 dan meninggal pada 7 September 2004 di Jakarta ketika dalam penerbangan yang hendak membawanya terbang ke Belanda untuk melanjutkan studi magisternya. Munir menginggal dunia pada usia yang terbilang masih cukup muda yakni 38 tahun. Semasa hidupnya Munir adalah salah seorang aktivis yang konsen membela rakyat kecil khususnya terkait dengan kasus Hak Asasi Manusia (HAM). Munir tercatat sebagai salah seorang mahasiswa di Universitas Brawijaya Malang pada Fakultas Hukum. Dimasa studi sarjananya inilah Munir mulai aktif bergerak dan berorganisasi menjadi seorang aktivis yang menyuarakan aspirasinya, menyuarakan suara rakyat kecil dan kaum termarjinalkan lainnya.
Sebelum akhirnya meninggal secara tragis, jabatan terakhir yang pernah diduduki oleh Munir adalah sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Namun namanya mulai melambung dan dikenal oleh publik sewaktu Munir menjabat menjadi Dewan Kontras yang saat itu sebagai pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Pada saat itu, Munir membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus.
Munir adalah sosok pemberani dan tangguh dalam meneriakkan kebenaran. Ia adalah seorang pengabdi yang teladan, jujur, dan konsisten. Berkat pengabdiannya itulah, ia mendapatkan pengakuan yang berupa penghargaan dari dalam negeri dan luar negeri. Di dalam negeri, ia dinobatkan sebagai Man Of The Year 1998 versi majalah UMMAT, penghargaan Pin Emas sebagai Lulusan UNIBRAW yang sukses, sebagai salah seorang tokoh terkenal Indonesia pada abad XX, Majalah Forum Keadilan. Sementara di luar negeri, ia dinobatkan menjadi As Leader for the Millennium dari Asia Week pada tahun 2000, The Right Livelihood Award (Alternative Nobel Prizes) untuk promosi HAM dan kontrol sipil atas militer, Stockholm pada Desember 2000, dan An Honourable Mention of the 2000 UNESCO Madanjeet Singh Prize atas usaha- usahanya dalam mempromosikan toleransi dan Anti Kekerasan, Paris, November 2000 (wikipedia.org).
Hari ini 7 September 2019, kita mengenang 15 tahun berpulangnya sang inspirator kemanusian. Dia tidak gugur, tapi dia digugurkan karena kematiannya bukanlah atas usia yang ditetapkan oleh Tuhan sudah habis masanya, akan tetapi Munir berpulang pada tangan-tangan kotor yang menuangkan zat beracun (senyawa arsenikum) pada makanannya. Pollycarpus Budihari Priyanto adalah tersangka yang dijatuhkan vonis penjara 14 tahun oleh Hakim Cicut Sutiarso. Sebelum kejadian meninggalnya Munir, Pollycarpus terbukti beberapa kali mendapatkan panggilan telepon dari nomor yang terdaftar oleh agen intelijen senior, akan tetapi siapa jenderal senior yang dimaksud dibalik pembunuhan Munirpun tidak pernah diungkap sampai saat ini.
Pada tahun yang sama yaitu 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY) yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI membentuk Tim Investigasi Independen atau Tim Pencari Fakta namun hasil investigasi tersebut hingga saat inipun tidak pernah diungkap ke publik. Namun harapan sempat muncul tatkala Komisi Informasi Pusat membuat putusan pada sidang tanggal 10 Oktober 2016 pada masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo agar mengumumkan hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta tersebut.
Harapan yang awalnya mulai muncul mendadak redup kembali saat Kementerian Sekretariat Negara mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan Banding itu pun dimenangkan oleh pihak Pemerintah pada 16 Februari 2017. Tidak berhenti sampai disitu, Kontras dan Impersial menempuh upaya untuk menemukan titik terang atas Kasus Munir ini dengan mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Lagi-lagi kasasi MA justru memperkuat putusan yang dikeluarkan oleh PTUN pada 13 Juni 2017. Hal ini menandakan data dan informasi dari Tim Pencari Fakta kembali ditutup rapat dan tidak dapat dibuka ke ruang publik.
Hingga saat ini pun kasus pembunuhan aktivis HAM Munir belum menemukan titik terang, namun bukan berarti perjuangan dan usaha untuk itu menjadi redup dan hilang. Justru sebaliknya, para keluarga korban pelanggaran HAM bersama aktivis dan kaum muda banyak berkumpul dan bergerak bersama untuk mencari dan mengungkap keadilan untuk kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia, salah satunya kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.
Salah satu pergerakan yang dilakukan adalah Aksi Kamisan. Kamisan adalah aksi damai yang muali digelar sejak 18 Januari 2007 dari para korban maupun keluarga korab pelanggaran HAM di Indonesia. Aksi Kamisan ini hadir sebagai bentuk aksi dari para korban dan keluarga korban Tragedi 1965, Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Talangsari, Tanjung Priok dan korban palanggaran HAM lainnya. Mereka berkumpul meminta Negara untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut yang sampai sekarang masih mangkrak di Kejaksaan Agung.
Sampai kapanpun, selama keadilan untuk para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM belum menemukan titik terang dan keadilan, percikan-percikan api perlawanan akan terus hidup diseluruh pelosok negeri, teriakan lantang menyuarakan keadilan pun akan terus menggema meskipun larangan dituai, jalan yang ditempuh terjal tidak akan pernah memadamkan semangat mencari keadilan untuk para korban pelanggaran HAM di Indonesia.
Panji Pragiwaksono pernah mengatakan pada suatu kesempatan "kalau elu anak muda bertanya siapa itu Munir dan kenapa kita harus membela dia padahal kan dia sudah meninggal? Gue kasi tau sama elu, ketika saat ini elu adalah masalah dan Munir masih hidup Munir aka ada buat elu, Munir akan ada untuk membela kalian, karena Munir adalah orang baik". Â
Â
Source:
- wikipedia.org
- cnnindonesia.com
- kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H