Mohon tunggu...
Diovany Andryansyah
Diovany Andryansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kekuasaan Presiden Jokowi: Memahami Gerak Politik Jokowi

9 Desember 2021   16:00 Diperbarui: 9 Desember 2021   16:03 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Strategi Jokowi Mempertahankan Kekuasaan

Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi, adalah seorang presiden yang dapat mempertahankan kedudukannya selama dua periode. Tentu hal ini tak luput dari strategi politiknya dalam persaingan elektoral Pilpres 2014 dan Pilpres 2019. Ada beberapa indikator penyebab kemenangan Jokowi yang mampu menarik suara rakyat pada kontestasi pemilu, yakni:

  • Jokowi menggunakan kendaraan politik dengan bergabung dalam Partai Demokrasi Indoesia Perjuangan (PDIP) yang notabene merupakan salah satu partai yang memiliki suara paling banyak dalam setiap pemilu.
  • Jokowi membuat identitas politik, yakni pada Pilpres 2014, ia menggunakan baju merah kotak-kotak sebagai suatu objek daya tarik untuk memikat hati pemilih. Pada Pilpres 2019, Jokowi juga menggunakan identitas dengan mengenakan kemeja putih polos sebagai bentuk kesederhanaan.
  • Pada Pilpres 2019, legitimasi Jokowi berkurang di kalangan umat islam, tetapi ia atasi dengan menggandeng KH. Ma'ruf Amin, seorang tokoh ulama sebagai wakilnya untuk mengembalikan daya tarik umat islam.

Apa Kabar Petualangan Politik Presiden Jokowi Saat Ini?

Dalam perjalanan dua periodenya, Presiden Jokowi telah melakukan tindakan-tindakan atau kebijakan-kebijakan yang mengarah pada bidang perekonomian dan infrastruktur dengan motto "Indonesia Maju". Perhatian pemerintahan dibawah Presiden Jokowi menonjolkan sikap ekonomi yang maju guna dapat menempatkan posisi yang baik dalam kegiatan ekonomi global.

Tapi, perlu diingat bahwa suatu negara demokrasi tidaklah hanya dibangun atas dasar tindakan dan kebijakan ekonomi belaka. Banyak lembaga survei dan analis politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengamati sistem kepolitikan di Indonesia selama dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Mereka menilai kondisi politik negara, sebagai contoh survei dari Indikator Politik Indonesia menunjukkan persepsi publik terhadap tingkat demokrasi di Indonesia semakin menurun. Sebanyak 36% menyatakan Indonesia kurang demokratis dan 37% menyatakan Indonesia dalam keadaan yang sama. Hanya 17,7% menyatakan Indonesia lebih demokratis.

Dilansir dari tirto.id, Angka persepsi kurang demokratis lebih tinggi dibandingkan yang menyatakan lebih demokratis adalah "alarm" yang perlu diantisipasi oleh elit politik, tutur Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, Minggu (25/10/20).

Ini artinya Presiden Jokowi memperhatikan bidang ekonomi dan infrastruktur, tetapi mengabaikan bidang politik demokrasi Indonesia. Strategi politik yang dilakukan Presiden Jokowi terfokus pada ekonomi, sedangkan bidang politik hanya sekedar dalam sebuah ucapan belaka.

Sebab-Akibat Strategi Politik Jokowi terhadap Indeks Politik dan Demokrasi Indonesia

            Kebijakan dan tindakan strategi yang digenjot di era kepemimpinan Jokowi dalam bidang ekonomi dan infrastruktur, pada nyatanya telah mempengaruhi aspek politik dan demokrasi di Indonesia. Pada periode pertama Jokowi memimpin, indeks demokrasi Indonesia dinilai belum mengalami kemunduran. Tetapi dalam perjalanan dua periode, banyak para ahli yang menilai bahwa indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan. Hal ini dibuktikan dari pernyataan Presiden Jokowi pada saat pidato di Istana Kepresidenan dilansir dari tirto.id (24/10/2019), "kita ini ingin membangun sebuah demokrasi gotong royong. Jadi perlu saya sampaikan bahwa di Indonesia ini tidak ada yang namanya oposisi seperti negara lain. Demokrasi kita ini adalah demokrasi gotong royong."

            Dari pernyataan tersebut, perlu digarisbawahi bahwa sebuah negara yang berbasis demokrasi haruslah terdapat oposisi, agar terjadi chek and balance demi berjalannya sistem politik dengan semestinya. Dalam tindakanya, Presiden Jokowi memasukkan lawan mainnya pada Pilpres 2019, yaitu Prabowo-Sandi kedalam koalisi pemerintahan, padahal seharusnya Prabowo-Sandi menjadi patner demokrasi dengan menjadi oposisi untuk menyumbangkan kritik-kritik terhadap koalisi pemerintahan. Di era Presiden Jokowi juga banyak kalangan menilai bahwa kebebasan berpendapat, seperti kritik sudah tidak aman lagi dan banyak yang terjerat   Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya tindakan represivitas terhadap gerakan sosial yang dilakukan oleh aparat. Ditambah kurangnya pemahaman segelintir orang mengenai perbedaan kritik dan hinaan.

            Tak heran jika banyak kalangan, khususnya generasi muda beranggapan bahwa Presiden Jokowi dikendalikan oleh suatu kelompok kecil yang menguasai kendali presiden sebagai kader partai yang sering disebut oligarki. Seolah pergerakan presiden tidak leluasa karena tekanan pihak-pihak yang memiliki kepentingan baik di bidang politik ataupun ekonomi.

            Gerak politik Jokowi juga seperti melakukan tindakan "politik balas budi", ini tercermin dari pengangkatan beberapa menteri, seperti Menteri Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yakni rekan bisnis Presiden Jokowi dan Menteri BUMN, Erick Tohir yakni mantan ketua tim sukses Jokowi-Ma'ruf. Selain menterinya, Presiden Jokowi juga mengangkat Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarno Putri sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP dan BRIN.

            Selain itu, gerak Presiden Jokowi dalam pelaksanaan eksekutif dominan mengandalkan satu orang yang dianggap mempunyai kompetensi untuk melaksanakan tugas negara. Hal ini tercermin seringinya Presiden Jokowi Menunjuk Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan untuk menduduki jabatan-jabatan penting terkait permasalahan eksekutif saat ini, seperti Koordinator PPKM Jawa-Bali, Ketua Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia, Ketua Dewan Pengarah Penyelamatan Danau Nasional, dll.

            Tanpa disadari, banyak sekali gerak politik Presiden Jokowi menuai kritik dari banyak pihak, baik politikus, pengamat, akademisi (dosen dan mahasiswa), dan kalangan masyarakat. Banyak pendapat bahwa demokrasi di era Presiden Jokowi mengalami kemunduran dan mengarah kepada bentuk oligarki. Hal ini keterbalikan dari masa Presiden B.J Habibie dimana setelah kepemimpinan Soeharto yang notabene pembangunan pesat, di era Presiden Habibie mengalami kemunduran, akan tetapi mengalami perubahan signifikan dalam politik, yakni reformasi atau bergantinya rezim Indonesia dari otoriter ke demokratis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun