Mohon tunggu...
Diyo Suroso
Diyo Suroso Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Panggil saja Diyo.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Pasca Covid-19, Resesi Pilihan atau Keniscayaan?

11 September 2020   13:22 Diperbarui: 11 September 2020   13:27 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Sumber: kompas.com

Tidak bisa dipungkiri, pandemi Covid-19 yang menyerang dunia, khususnya Indonesia pada awal 2020 lalu telah berhasil melumpuhkan sejumlah aspek kehidupan kita, salah satunya ekonomi. Pada Maret 2020 ini saja, Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka kemiskinan dan hasilnya cukup mencengangkan.

Dilansir dari suara.com hasil riset BPS menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk miskin sebesar 1,63 juta orang dari 24,79 juta orang pada bulan September 2019 menjadi 26,42 juta orang pada Maret 2020. Peningkatan jumlah penduduk miskin ini disebabkan adanya permasalahan pandemi Covid-19 yang sampai saat ini belum menunjukkan tren penurunan.

Kemiskinan tentu saja bukan masalah baru di negeri kita. Kemiskinan tertinggi terjadi pada 1970, di mana terdapat 60 persen penduduk yang masuk kategori miskin atau sebanyak 70 juta jiwa. Sementara angka terendah ditunjukkan pada data BPS bulan Maret 2018, yakni 9,82 persen dengan 25,95 juta penduduk miskin. Inilah pertama kalinya angka kemiskinan di Indonesia berada di bawah 10 persen.

Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin itulah yang dirasakan oleh hampir seluruh negara di dunia, termasuk juga Indonesia. Pasalnya, baru-baru ini masyarakat Indonesia harus dihantui akan adanya resesi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 diperkirakan akan melanjutkan kinerja negatif, setelah pada kuartal II-2020 tumbuh negatif 5,32 persen. Sehingga, Indonesia memiliki potensi besar untuk masuk ke jurang resesi.

Namun, sebelum itu kita harus tahu terlebih dahulu apa itu resesi ekonomi. Apakah yang dimaksud dengan resesi ekonomi?

Lalu apa itu resesi? Dikutip dari The Balance, resesi adalah penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang berlangsung dalam beberapa waktu, umumnya dalam tiga bulan lebih. Sejumlah indikator yang bisa digunakan untuk menandai resesi antara lain terjadi penurunan Produk Domestik Bruto (PDB), merosotnya pendapatan riil, pengangguran bertambah, penjualan retail lesu, dan terpuruknya industri manufaktur.

Kompas.com menyebutkan bahwa saat resesi artinya, pertumbuhan ekonomi ada di angka 0%, bahkan minus dalam kondisi terburuknya. Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi selama ini jadi indikator utama dalam mengukur perkembangan dan kemajuan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diwakili oleh peningkatan PDB.

Dampak resesi ekonomi yang bisa dirasakan oleh masyarakat salah satunya adalah penurunan jumlah lapangan pekerjaan. Hal tersebut tentu saja akan menjadi stimulan meningkatnya jumlah pengangguran secara signifikan. Produksi barang dan jasa juga akan menurun, serta yang juga tak kalang penting adalah ancaman kejahatan. Ini adalah paket lengkap yang sudah tersaji di depan mata jika hal ini dibiarkan berlarut.

Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Beberapa variabel tersebut berupa faktor eksternal yang berada di luar kendali, seperti gejolak ekonomi global, mekanisme pasar, hingga terjadinya wabah.

Pandemi Covid-19 dan resesi memiliki keterkaitan yang sangat erat. Sebagai contoh saja pada pandemi Flu Rusia yang terjadi 1889-1890. Selain Flu Rusia, Lembaga riset nirlaba asal AS, National Bureau of Economic Research juga mencatat adanya resesi pada pandemi Flu Spanyol yang terjadi pada Perang Dunia 1 1918 silam.

Dari keduanya, kita mengetahui jumlah korban yang tak sedikit. Akibatnya, resesi ekonomi pasca pandemilah yang tak dapat dihindari. Terutama di negara-negara yang terdampak.

Akan tetapi, resesi ekonomi tak hanya menyisakan dampak negatif saja jika ada analisa dan evaluasi yang tepat. Pasalnya, ada pelajaran yang dapat diambil pasca resesi, salah satunya adalah rebound di pasar saham. Maka, ini adalah kesempatan bagi pelaku pasar untuk mengatur ulang portofolio agar bisa meraih keuntungan sebesar-besarnya saat kondisi pulih.

Bagi Indonesia, bagaimana dampak Covid-19 kepada kondisi pasar saham saat ini?

Nyatanya, perdagangan saham di Indonesia mengalami penurunan aktivitas jual beli saham yang cukup signifikan selama wabah Covid-19. Dilansir dari cnbcindonesia.com Direktur Utama BEI Inarno Djajadi mengatakan bahwa hampir semua indeks bursa global mengalami penurunan di tahun 2020 ini.

Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai transaksi turun signifikan pada Maret 2020. Di mana saat itu Covid-19 sedang merajalela. Tapi, apakah ini merupakan peluang atau ancaman bagi investor? Apakah menyimpan saham merupakan hal yang tepat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun