Demi memacu semangat belajar siswa dikelasnya, ada guru A yang berjanji akan memberikan hadiah bagi siswa yang berprestasi. Hadiahnya beragam, misalnya: buku tulis, pensil, pulpen, atau alat tulis lainnya yang memang dibutuhkan siswanya dalam proses belajar mengajar.
Di lain pihak, guru B yang mengancam akan menghukum siswa dengan nilai rendah (baca: tidak mencapai nilai standar). Hukumannya pun beragam, seperti disetrap (berdiri depan kelas dengan 1 kaki dan tangan memegang kuping), membersihkan kamar mandi, sampai lari keliling lapangan. Adapula hukuman yang bersifat verbal, misalnya; hinaan “Kamu ini kok goblok sekali!” atau membanding-bandingkan dengan siswa lain “ Coba lihat si Budi, nilainya jauh beda dengan kamu”.
Tentu tidak ada yang salah dengan cara yang digunakan guru A dan guru B. Namun, timbul pertanyaan; apakah cara tersebut benar-benar efektif untuk memacu semangat dan prestasi belajar siswa?
Namun, di negara maju, ada guru yang menawarkan hadiah yang lebih besar nilainya, misalnya: hadiah liburan, barang elektronik, dan lain sebagainya. Tidak salah memang jika guru memang mampu menyediakan hadiah-hadiah tersebut.
Pemberian hadiah (reward) dilakukan dengan harapan memacu para siswanya menjadi yang terbaik dan memperoleh hadiah yang dijanjikan. Namun, sang guru perlu juga melihat motif dari siswanya, apakah keinginan belajarnya memang dari hati atau hanya sekedar ingin mengejar hadiah yang disediakan. Jika alasannya adalah yang kedua, tentu pelajaran hanya akan menjadi sebuah formalitas belaka. Bisa jadi, rasa hormat pada gurunya pun demikian. Jika ini terus berkembang akan mempengaruhi, kepribadian siswa dimasa depan. Ketika dewasa bisa jadi ia akan menjadi pribadi yang lebih mementingkan hal-hal materi dalam kehidupannya.
Saya masih ingat ketika belajar menghafal perkalian 1-10 dikelas 2 SD. Kami berdiri di depan kelas, lalu menghafal 1X1=1, 2X1=2, dan seterusnya. Jika ada yang salah atau terlalu lama diam (karena mengingat), maka ada sebatang rotan yang aiap melayang menuju betis atau pantat kami. That's a nightmare for me until now.
Ini adalah senjata dari guru killer pada muridnya. Mereka ditakuti siswa karena jika ada tugas yang tidak mampu dikerjakan maka akan ada hukuman yang diberikan. Para siswa akrab dengan hukuman fisik, sedangkan para siswi hukuman verbal. Jangan salah sangka, ini bukan karena gurunya pilih kasih. Sering kali kata-kata dapat lebih sakit menyayat dari pada tamparan atau pukulan.
Hukuman fisik ini sering heboh karena telah menelan banyak korban jiwa. Diawal tahun 2015, kita di kagetkan oleh kasus Lintang, seorang siswa SMP N 1 Palasah Majalengka meninggal dunia setelah dihukum gurunya. Alasannya sepele, tidak mengerjakan PR Bahasa Indonesia. Hukuman yang berikan adalah lari keliling lapangan. Namun, karena kondisi fisiknya lemah, Lintang pun merenggang nyawa, setelah sempat mendapat pertolongan medis.
Walaupun disiplin diperlukan, tetapi menurut saya, hukuman berpotensi membuat siswa berbuka dua. Hanya mengerjakan tugas, karena takut dihukum,bukan karena sadar akan manfaat tugas tersebut.
Hargai Upaya Siswa bukan bakatnya.
Dalam bahasa pendidikan ada istilah reinforcement. Padanan katanya dalam bahasa Indonesia ada pujian atau pengakuan akan hasil karya seseorang. Siapapun senang jika dihargai, dan penghargaan bisa membuat kita bangga. Jika sudah bangga pada diri sendiri , akan ada upaya untuk mempertahankannya. Hal ini juga berlaku pada siswa-siswi kita. Mereka bangga jika dipuji, diakui hasil kerja kerasnya. Dan percayalah, jika guru memberikan pujian yang sepantasnya maka sang siswa akan terus berupaya mempertahankan hasil positifnya tersebut. Menurut saya, reinforcement lebih ampuh dibandingkan reward.
Bagaimana dengan hukuman? Di setiap akhir semester atau akhir tahun ajaran, para siswa akan menerima laporan hasil belajar atau yang lazim disebut raport. Dalam raport biasanya ada yang disebut ranking. Ranking 1 adalah yang terbaik. Maka, biar lah rasa malu karena mendapat rangking terakhir yang menghukum sang siswa, bukan kata-kata, tamparan atau pukulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H