Mohon tunggu...
Dio Prasasti
Dio Prasasti Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sepak Terjang Media Daring Abal-abal dalam Pemberitaan Tentang Ahok

14 April 2016   15:23 Diperbarui: 14 April 2016   18:30 3689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Salah satu media daring yang tidak mencantumkan redaksinya (Sumber: dokumen pribadi)"][/caption]Dunia jurnalistik di Indonesia saat ini sering diisi oleh banyak figur publik. Mulai dari politisi hingga selebriti, semua punya kesempatan eksis tidak hanya di televisi. Sejak munculnya Joko Widodo sebagai walikota Solo hingga jadi presiden, selalu muncul figur baru di Indonesia.  Mulai dari Ridwan Kamil walikota Bandung, Tri Risma walikota Surabaya, Ganjar Pranowo gubernur Jawa Tengah, dan yang terakhir Dedy Mulyadi yang merupakan bupati Purwakarta. 

Namun, di antara mereka ada satu figur yang namanya tidak pernah hilang dari media.  Figur menarik tersebut adalah Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Sosoknya yang kontroversial terus mengundang komentar dari berbagai pihak. Banyak pihak yang pro dan kontra pada cara kerjanya dan juga komunikasi politiknya yang dianggap sangat buruk oleh lawan-lawannya.

Kebijakan-kebijakannya yang sangat kontroversial dan gayanya yang koboi, menjadi suatu hal yang menarik dan terus menerus diberitakan oleh media. Hampir setiap hari, nama Ahok pasti terlintas di media yang kita lihat atau kita dengar. Belum lagi, para pendukungnya yang siap membela dirinya habis-habisan apabila Ahok mendapatkan perlawanan dari lawan-lawan politiknya.

Di media daring sendiri, Ahok, panggilan akrabnya, juga menjadi sumber berita yang bernilai. Terutama dari sisi proximity, prominence, dan juga sisi waktunya.  Dari sisiproximity atau kedekatan, Ahok sangat dekat dengan masyarakat Jakarta, ibukota Indonesia. Dari sisi prominence atau sesuatu yang terkenal, tentu Ahok dikenal oleh masyarakat Indonesia. Aksi Ahok yang terus ada membuat beritanya selalu timeliness. Namun, nilai berita lain yang menjadi nilai lebih adalah mengenai konflik Ahok dan lawan-lawannya. Menurut Ishwari (2005: 49), kebanyakan konflik adalah berita. Walaupun yang ditekankan adalah konflik fisik, namun debat tentang kepentingan publik dan isu yang menyangkut kualitas daei kehidupan  mendapat tempat penting dalam pemberitaan. Dalam hal ini, konflik yang terjadi di kasus Ahok menyangkut kepentingan publik di  Jakarta melawan kepentingan beberapa pihak.

Setiap harinya, pasti ada media daring yang memberitakan mengenai sepak terjang Ahok maupun lawan-lawannya. Menurut sebuah berita di Bisnis.com, pada bulan Desember 2015 saja ada 10.092 berita daring tentang Ahok. Hal itu disampaikan oleh PT Isentia Jakarta yang melakukan perangkuman berita Ahok sepanjang Desember tahun 2015. Setelah media daring, Ahok juga tercatat dalam 1.513 artikel di media cetak, 140 artikel di televisi, dan majalah mencapai 38 artikel sehingga total mencapai 11.783 artikel.(Sumber: http://jakarta.bisnis.com/read/20160111/388/508884/pemberitaan-ahok-di-media-online-mencapai-10.092-artikel)

Sayangnya, sebagai media yang tidak lepas dari kepentingan pemiliknya, media daring juga bisa berpihak. Namun keberpihakan itu tidak diiringi dengan etika dalam pemberitaannya. Pemberitaan yang menjurus ke SARA terkadang menjadi cara mereka untuk menyerang Ahok. Bukan hanya mengkritik sudah menjurus ke arah yang lebih buruk.

Padahal dalam kode etik jurnalistik Dewan Pers sendiri, sudah ada suatu poin yang mengatakan bahwa Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan erita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau jasmani. Selain itu, wartawan Indonesia juga tidak boleh memberitakan pemberitaan yang sifatnya fitnah, sadis, ataupun cabul. Dalam kasus Ahok, yang paling banyak menjadi sorotan adalah berita yang bersifat fitnah.

Pemberitaan bernada menyerang ini sering dilakukan oleh media yang memiliki kepentingan yang berlawanan dengan sang gubernur. Televisi dan media daring menjadi salah satu yang paling banyak melakukan serangan terhadap Ahok. Dalam hal ini, media yang saya soroti hanya daring saja.

Media daring memiliki fitur interaktifitas di mana public sphere berperan penting dalam interaktifitas tersebut.Public sphere mampu mempengaruhi bagaimana suatu masyarakat bertindak, dan bagaimana nantinya hal tersebut mampu mempengaruhi suatu jalannya politik dan sosial di negeri kita. Media daring itu sendiri juga merpakan bentuk dari public sphere, di mana tidak hanya wartawan yang bisa menulis namun juga non-jurnalis. 

Apabila kita melihat dari kasus Ahok, media daring sangat memiliki peran penting di dalam hubungan Ahok dengan masyarakat Indonesia khususnya Jakarta. Media daring menjadi bentuk konflik virtual yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia. Antara mereka yang pro dan kontra terhadap Ahok.

Namun, inilah yang menjadi masalah baru. Beberapa mengatasnamakan sebagai sebuah media daring untuk menyudutkan suatu pihak. Dalam hal ini adalah Ahok dan latar belakangnya sebagai orang Tionghoa dan Kristiani. Saya ambil contoh tiga artikel berikut ini.

1.      http://pembawaberita.com/2016/04/10/akibat-pesta-bir-ketahuan-sesama-pendukung-ahok-saling-menyalahkan.html

2.      http://www.nbcindonesia.com/2016/04/wilayah-yang-dikuasai-etnis-tionghoa-di.html

3.      http://www.nbcindonesia.com/2016/04/pakar-metafisika-ingatkan-bakal-ada.html

Tidak ada yang tahu siapa sebenarnya empunya media-media ini. Tidak ada kebijakan redaksi apabila anda mencari di situs tersebut. Tidak ada juga struktur organisasi wartawan yang jelas dan dicantumkan. Sehingga, kedua media ini bisa kita sebut sebagai media daring abal-abal. Bahkan tidak tanggung-tanggung salah satu media tersebut membawa-bawa nama salah satu media Amerika Serikat. Ini tentu juga bisa dikategorikan pelanggaran hak cipta.

Dengan adanya ketidakjelasan dalam media abal-abal tersebut, tentu kita bisa mengatakan bahwa media tersebut tidak memenuhi kriteria jurnalisme daring. Bahkan, kita bisa menduga bahwa media tersebut adalah milik organisasi non-jurnalistik. Sehingga, kode etik jurnalistik juga tidak bisa dikenai oleh Dewan Pers karena memang bukan media jurnalistik. Salah satu tulisan di Kompasiana bahkan mengatakan, situs NBCIndonesia menggunakan jasa pembuatan situs dalam pembuatannya. Tulisan lengkapnya bisa dilihat di sini: http://www.kompasiana.com/ad.agung/nbc-indonesia-silumannya-siapa_5662fce46823bd3020495be4

Sebagai sebuah bentuk dari media baru, media daring juga terbentuk dan mempengaruhi public sphere yang ada di dalam dunia maya. Dalam buku Creeber dan Martin, Habermas mengatakan public sphere (dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan menjadi ruang publik) adalah suatu tempat ideal dimana semua orang (tidak hanya berdasarkan kelas, pendapatan, kelompok, gender, ras, dan etnisitas) bisa duduk dan berbagi ide dengan orang lain tentang sosial ekonomi dan isu politik yang menjadi kepentingan publik dan menarik, dengan kritik yang membangun dan debat yang rasional (2009: 140).

Sayangnya, kritik yang membangun dan rasional yang harusnya ada di dalam media-media daring abal-abal tersebut tidak ada. Bahkan, pembaca pun tidak memiliki interaktifitas yang seharusnya ada di dalam sebuah media daring. Pengguna seakan digiring opininya agar sesuai dengan apa yang mereka tulis. Hal ini buruk bagi sebuah dunia jurnalisme daring. Belum lagi apabila kita melihat judul-judulnya yang sangat menggiring opini dari pembacanya. Tanpa kita membacanya pun, kita tahu apa isi dari pemberitaan tersebut.

Padahal, interaktifitas inilah yang menurut Deuze, menjadi ciri dalam sebuah jurnalisme online. Interaktifitas berarti  jurnalisme online, dia harus mampu memiliki interaktifitas dengan pembacanya (1999:377). Memang, kolom komentar pembaca memang ada di dalam media-media tersebut. Namun, komentar yang ada pun kebanyakan hanya merupakan hujatan terhadap media tersebut dan tidak terjadi diskusi yang sehat. Ini bisa dibilang merupakan kesalahan media abal-abal tersebut. Mereka juga tidak menyediakan forum diskusi yang baik dan menghilangkan esensi interaktifitas itu sendiri.

Media daring abal-abal tersebut sesungguhnya bisa dilacak dan bisa dikenakan pasal karena telah melanggar Undang-Undang Pers no. 40 Tahun 1999. Terutama mengenai berita bohong dan juga pemberitaan yang bernada SARA. Selain itu, media-media tersebut juga bisa dikenakan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang no. 11 tahun 2008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam pasal tersebut menyatakan “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik”.

 Dalam hal ini, kerugian yang ditanggung adalah kerugian yang dirasakan mereka yang disudutkan. Dalam kasus ini Ahok ataupun orang lain yang sama latar belakangnya agama dan ras nya dengan Ahok, bisa saja melaporkan media online ini. Dewan pers pun seharusnya dalam hal ini juga harus berani tegas dalam menindak media-media online bodong seperti ini. Selain itu, harus ada regulasi yang jelas agar media online tidak melanggar etika jurnalisme.

Bahkan kita ingat, pada era pemilu 2014, banyak media-media palsu yang membawa-bawa media online yang kredibel sebagai nama dari situs mereka. Mereka adalah: Tempo.co, Kompas.com, Antaranews.com, Detik.com, Tribunnews.com, Liputan6.com, dan Inilah.com. Tujuh media tersebut tiba-tiba muncul dengan nama baru dan hanya dibedakan dengan embel-embel “-news.com” dan tampil seperti sebuah blog. Tentu ini juga merupakan pelanggaran hak cipta.

Kita tahu, saat ini, masyarakat Indonesia mudah sekali terpecah dengan isu-isu yang sensitif. Terutama yang menyangkut dengan suatu figur publik dan latar belakangnya. Media online dengan segala kemudahan dalam aksesnya terkadang membuat masyarakat merasa ragu tentang kredibilitas media online ini.

Masyarakat juga harusnya bisa lebih cerdas dalam menanggapi pemberitaan seperti ini. Ada baiknya masyarakat tahu mengenai mana media yang kredibel mana yang tidak. Bahkan kita pun tahu, media daring yang kredibel dan memiliki institusi jurnalistik yang resmi oleh Dewan Pers pun terkadang masih banya yang menyalahi etika jurnalistik. Belum lagi saat ini media sosial juga dipenuhi dengan pemberitaan-pemberitaan yang bernada provokasi. Hal inilah yang juga mampu memecah masyarakat.

 [caption caption="Tidak ada keterangan kontak redaksi yang jelas"]

[/caption]Media online yang dianggap kredibel adalah mereka yang memilki keterangan informasi tentang latar belakang perusahaan yang tertera di dalam media tersebut. Contoh saja tentang pedoman kebijakan siber, redaksi, privacy policy, about us, dan juga kontak serta alamat yang jelas yang bisa dihubungi. Beberapa media abal-abal yang saya kunjungi tidak memiliki hal-hal tersebut. Kebanyakan hanya bisa dikontak melalui email dan tidak menyertakan kebijakan-kebijakan redaksi.

Inilah yang membuat masyarakat harus tahu tentang media online abal-abal. Dalam kasus Ahok, media yang kredibel seharusnya mampu mengkritik kebijakannya dengan santun dan tidak membawa-bawa isu-isu SARA. Belum lagi menyerang dengan berita-berita hoax dan juga berita yang tidak bisa dikonfirmasi kebenarannya. Cara bermain yang buruk bagi public sphere dunia maya inilah yang membuat bangsa ini menjadi bodoh. Hujatan-hujatan yang sering terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat mengenai kredibilitas suatu media dan juga tentang etika di dunia maya.

Masyarakat Indonesia sudah cerdas. Seharusnya, kita jangan lagi mudah tertipu oleh berita-berita hoax yang sifatnya pembodohan. Tidak hanya dari kasus Ahok, namun semua figur publik dan semua kasus. Patutnya disikapi dengan bijak dan beretika.

 

Referensi

Creeber, Glen dan Royston Martin. (2009). Digital Cultures: Understanding New Media. UK: McGraw Hill.

Deuze, Mark. (1999). Journalism and the Web: An Analysis of Skills and Standards in an Online Environment. London: Sage.

Ishwara, Luwi. (2005). Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Perkasa, Anugerah. (2016). Pemberitaan Ahok di Media Online Mencapai 10.092 Artikel. http://jakarta.bisnis.com/read/20160111/388/508884/pemberitaan-ahok-di-media-online-mencapai-10.092-artikel. Di akses pada Kamis, 14 April 2016 pukul 13.00.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun