ilustrasi SEBAGAIMANA daerah lain di Nusa Tenggara Timur (NTT) atau wilayah Indonesia umumnya yang memiliki kekayaan alam dan budaya, Kabupaten Ende juga memiliki khasanah serupa. Hal ini terlihat di Desa Woloara, Kecamatan Kelimutu.
Pos Kupang mendapat kesempatan langka menyaksikan prosesi pembangunan rumah adat yang dalam bahasa daerah setempat disebut Sa'o Ria Woloara. Mosalaki (tetua adat) Woloara, Don Watu menuturkan, rumah adat Woloara memiliki kesakralan serta nilai-nilai yang harus dipertahankan oleh masyarakat setempat atau dalam bahasa daerah disebut ana kalo fai walu.
Keberadaan Sa'o Ria saat ini sangat membutuhkan perhatian dari ana kalo fai walu karena dipandang sudah tidak layak lagi untuk ditempati dan menjadi tempat pertemuan mosalaki, atalaki, podoria dan seluruh warga suku.
Oleh karena itu, pada tanggal 30 Mei 2015 Mosalaki Pu'u Tanah Mau Gadho Woloara memanggil Atalaki to'o si'i kuni mbana (petugas mosalaki) dalam struktur adat tana Mau Gadho Woloara yang bertugas menyampaikan dan mengundang seluruh atalaki, podoria dan ana kalo fai walo untuk hadir pada tanggal yang telah ditentukan itu.
Puji Tuhan semua pihak yang berkepentingan hadir pada tanggal tersebut guna membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan Sa'o Ria Woloara.
"Sudah merupakan kebiasaan jika mosalaki pu'u mengundang semua komponen adat maka seluruh persiapan ditanggung mosalaki pu'u," ujar Don Watu.
Adapun perintah adat yang harus dilaksanakan adalah pertama penebangan kayu untuk rumah adat dilaksanakan pada tanggal 13 Juni 2015. Kedua, pada saat penebangan kayu, semua ana kalo fai walu mengenakan pakaian adat yakni bersarung Lio. Ketiga, wilayah yang menjadi lokasi penebangan adalah hutan rakyat yang ada di Dusun Woloki, Desa Woloara.
Keempat, mengikuti petunjuk atau arahan dari mosalaki pai nggo niu wani terkait pohon yang akan ditebang.
Kelima, yang menandai kayu (neka kaju) untuk bahan bangunan rumah adat adalah mosalaki kili ndolu wangga taka. Semua pihak yang berkepentingan menaati semua perintah tersebut.
Sisi menjadi menarik dari prosesi penebangan kayu tersebut adalah seluruh ana kalo fai walu menyaksikan dengan seksama. Kendati jaraknya cukup jauh dari kampung, namun ana kalo fai walu tetap setia mengikuti prosesi tersebut. Setelah tiba di lokasi mosalaki pai nggo niu wani langsung menuju ke pohon kayu yang hendak ditebang. Sebelum ditebang, mosalaki pai nggo niu wani bersama mosalaki kili ndolu wangga taka melakukan seremonial adat yakni memberikan sesajian kepada tana watu dengan membawa seekor ayam dan mota keu oka (sirih pinang). Setelah itu langsung menandai pohon yang akan ditebang.
Pada hari itu berhasil ditandai tiga pohon kayu. Pohon yang ditandai tersebut masing masing dimiliki podoria atas nama Mathias Gadho, Don Watu (mosalaki pa nggo niu wani) satu batang) dan satu batang oleh mosalaki dari rumah besar Bhoku Ndolu. Pohon yang ditandai mosalaki kili ndolu wangga taka menunjukkan kesesuaian, rumah adat tersebut menjadi rumah pertemuan yang ramah dan rukun.
Pohon yang ditebang dan kayunya dibawa ke Sao Ria menandakan bahwa wilayah hukum adat Tana Mau Gadho Woloara sampai di perbatasan hutan negara, kawasan Taman Nasional Kelimutu. Hal ini mempunyai kesesuaian dengan tiga warna Danau Kelimutu yang merupakan keajaiban dunia. "Mudah-mudahan rumah adat Sa'o Ria mempunyai keajaiban dan sangat istimewa," kata Don Watu.
Dia menyatakan, setelah penebangan pohon, semua atalaki, podoria dan ana kalo fai walu duduk bersama membicarakan prosesi untuk kembali ke Sa'o Ria dengan membawa kayu yang sudah dipotong. Mereka juga menikmati makanan adat yang telah disediakan oleh podoria yang dipimpin Mathias Gadho dan ana kalo fai walu Woloki.
Setelah makan adat, mereka sesuai tugas masing-masing berjalan beriringan menuju kampung sesuai urutan sebagai berikut. Pertama yang memukul gong adalah mosalaki pai nggo niu wani yakni Don Watu, SH;M.H diikuti mosalaki kili ndolu wangga taka dan mosalaki-mosalaki lainnya.
Setiba di Sa'o Ria mosalaki pu'u Dominikus We,u dan Adrianus Sega sudah menunggu kedatangan atalaki, podoria dan ana kalo fai walu. Mereka diterima dengan tarian adat diiringi nggo wani. Sudah menjadi kebisaan dalam masyarakat Lio, selama melaksanakan kegiatan adat nggo wani harus tetap dibunyikan.
Gong merupakan tanda adat yang awalnya diserahkan mosalaki pu'u kepada mosalaki pai nggo niu wani lalu diserahkan kembali kepada mosalaki pu'u.
 Dengan diserahkan kembali gong adat tersebut maka seluruh kegiatan adat pada saat itu telah usai. Tepat jam 20.00 Wita hari itu, semua duduk dan makan bersama mendengar arahan dari mosalaki pu'u terkait dengan pelaksanaa kegiatan adat selanjutnya. Akhirnya diperintahkan kepada atalaki, podoria dan ana kalo fai walu bahwa kegiatan lanjutan penebangan pohon berlangsung pada tanggal 15 Juni 2015 dengan prosesi yang kurang lebih sama. (romualdus pius)
Sumber: Pos Kupang 28 Juni 2015 halaman 5
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H