Mohon tunggu...
Dion DB Putra
Dion DB Putra Mohon Tunggu... profesional -

Dion DB Putra adalah wartawan. Dion lahir di Ende, salah satu kota bersejarah di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sampai detik ini masih belajar membaca dan menulis...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Siami

21 Juni 2011   23:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:18 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Usir, usir... dia dari kampung ini. Usir orang yang tak punya hati nurani! WANITA  berkerudung biru di depan kerumunan massa itu hanya bisa menangis pilu. Suara permintaan maafnya yang diucapkan dengan bantuan pengeras suara nyaris tak terdengar di tengah gemuruh suara massa yang melontarkan hujatan dan caci maki. "Usir, usir...dia dari kampung ini. Usir orang yang tak punya hati nurani!"

Itulah selaksa peristiwa menyayat hati  di Jalan Gadel Sari Barat, Kecamatan Tandes, Kota Surabaya hari Kamis 9 Juni 2011. Siami tak menyangka niat tulus mengajarkan kejujuran kepada anaknya malah menuai petaka. Dia diusir warga Gadel Sari Barat gara-gara ia melaporkan guru SDN Gadel 2 yang memaksa anaknya, Al, memberikan contekan kepada teman-temannya saat ujian nasional pada 10-12 Mei 2011. Berlaku jujur malah buntung!

Keluarga Siami dituding telah mencemarkan nama baik sekolah dan kampung. Setidaknya empat kali, warga menggelar aksi unjuk rasa, mengutuk tindakan Siami. Puncaknya terjadi pada Kamis siang itu. Lebih dari 100 warga Kampung Gadel Sari dan wali murid SDN Gadel 2 meminta keluarga penjahit itu enyah dari kampungnya. Permintaan maaf Siami tidak melembutkan hati massa yang keras mengaum sampai akhirnya polisi mengevakuasi Siami dan keluarganya. Siami masuk mobil polisi dengan pengamanan pagar betis. Ngeri! Namun, massa tetap berusaha merangsek. Mereka sangat beranafsu mencabik-cabik tubuh ringkih Siami. Sejumlah orang bahkan sempat menarik-narik kerudung biru Siami hingga nyaris mencium bumi. Untunglah  Siami berhasil diamankan ke Mapolsek Tandes dan selanjutnya mengungsi  ke kampung asalnya di Dusun Lumpang, Desa Sedapun Klagen, Benjeng, Gresik, Jawa Timur. "Kami akan merasa tenang jika di Gresik," kata Saki, kakak Siami. Menurut laporan Kompas yang beta kutip, Al, putra  Siami yang dipaksa guru memberi contekan kepada teman-teman sekelasnya sudah lebih dahulu diungsikan ke Benjeng setelah rumah orangtuanya didemo warga Gadel. Siami dituding tak punya nurani. Lalu di manakah nurani? Bukankah nurani itu ada di setiap hati? Hati tuan dan puan pun beta. Ada di setiap hati kita. Pastilah karena bisikan nuraninya, Siami mengungkap praktik contek massal di sekolah putranya. Tapi kejujuran di zaman ini memang mahal, kawan!

Pelaksanaan Ujian Nasional yang kini wajib sampai level sekolah dasar makin menunjukkan langkanya kejujuran di ini negeri. Ujian Nasional (UN) telah dimengerti seolah-olah indikator tunggal kualitas pendidikan bangsa. Maka orang pun tidak malu berdamai dengan realitas bernama cara instan dan jalan pintas. Yang penting tujuan bukan proses. Yang utama lulus, tak hiraukan cara lulus dengan menyontek atau katrol nilai.

Setiap musim ujian nasional tiba, semua berburu lulus dengan persentase setinggi-tingginya. Menguber seratus persen. Menggapai kesempurnaan. Gagal dianggap barang haram hingga tersibak hati yang rapuh ini. Guru mata pelajaan takut pada kepala sekolah, kepala sekolah takut pada kepala dinas PPO, kepala dinas PPO takut bupati, bupati takut gubernur, gubernur takut menteri, menteri takut presiden, presiden takut kehilangan pesona. Mereka takut gagal UN sehingga segala cara ditempuh. Baik pun tidak baik. UN mempertaruhkan jabatan. Betapa banyak orang gundah menghadapi kemungkinan hilang jabatan, hilang posisi, hilang kemewahan dan kenikmatan duniawi. Menipu lalu dianggap halal. Inikah bangsa yang bermartabat? Pendidikan bangsa ini telah disederhanakan sekadar hasil UN. Mengabaikan perlunya pembentukan akhlak mulia, otak cerdas sekaligus hati yang berjiwa besar. Di sudut hatinya yang paling bening, warga sekampung yang membenci Siami tentu tak setuju contekan massal. Tapi benak mereka mungkin bergumam serentak. "Betul itu salah tetapi sudah lumrah terjadi di banyak tempat. Mengapa melawan arus? Yang lalu biarkanlah berlalu, yang penting anak-anak lulus, tidak mengulangi ujian atau tahan kelas VI."  Di zaman yang mementingkan angka-angka ini, suara mayoritas selalu menang meskipun salah. Siami dipandang sok jujur. Sok pahlawan. Dia pantas dijadikan kambing hitam. Kambing hitam yang mesti disembelih. Harus dikorbankan demi kepentingan mayoritas. Hasil investigasi tim independen menemukan bukti bahwa Siami benar tentang fakta contekan massal. Al memang diintimidasi guru sehingga mau memberikan contekan. Namun, tim tidak menemukan cukup bukti sehingga UN di SDN Gadel 2 perlu diulang. Alasannya tim independen tidak menemukan hasil jawaban UN yang sistemik sama, dan nilai UN pun hasilnya berbeda. Al tidak seluruhnya memberikan jawaban yang benar. Dan, kawan-kawannya tidak sepenuhnya percaya dengan jawaban Al sehingga hasil ujian tidak sama. Hari Sabtu 18 Juni 2011, Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur merilis hasil mencengangkan. Seluruh 60 murid kelas 6 SD Negeri Gadel 2 Surabaya lulus. Lulus 100 persen. Hebat! Kasihan  Siami. Dia telah menjadi korban karena kejujurannya. Tapi Indonesia mesti berterima kasih kepada ibu ini. Dia mengingatkan tentang prahara kehidupan: Demi tujuan orang bisa menghalalkan segala cara. Siami membuka mata betapa kita sesungguhnya hidup di tengah masyarakat yang sakit! Salah satu ciri masyarakat sakit, menurut kaum bijak bestari, adalah masyarakat yang tak berani lagi melawan arus. Diam melihat penyimpangan. Bisu mencicipi kesewenangan. Lima puluh sembilan orangtua/wali murid kelas 6 SDN Gadel Surabaya tahu anak-anak mereka menyontek. Tetapi mereka memilih diam karena mereka merasa mendapat keuntungan. Ketika si penjahit Siami bersuara, dia dinistakan. Siami menyulam kejujuran di tengah badai kemunafikan. Dia terlindas. Dalam keseharian, tuan dan puan mungkin sadar sesuatu itu salah. Tetapi tuan pasti berpikir seribu kali. Kalau tuan lemah  jangan coba-coba melawan. Lebih baik ikut arus daripada terpinggirkan. Mengoreksi bisa merusak karier. Lebih baik ABS. Lebih baik loyal buta. Membeo. Membebek saja. Inilah zaman di mana semua seorang anak merasa berhak lulus atau naik kelas di akhir tahun ajaran. Tidak perlu belajar, tak perlu tikam kepala melahap teori dan mempratikkannya. Persoalan besar bangsa kita adalah erosi budi pekerti. Aih, negeri ini membutuhkan Siami. Terima kasih Siami.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun